Minggu, 28 Desember 2014

Aspek Perilaku Dalam Akuntansi Sosial



BAB I
PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang Masalah
Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yang mengalami perubahan dari pandangan manajemen klasik ke manajemen modern khususnya di beberapa negara industri seperti Amerika dan Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab perusahaan. Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba maksimum telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi perusahaan dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum, karena menurut pandangan Manajemen modern perusahaan dalam menjalankan operasionalnya harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988) dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan informasi kepada beberapa kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan.
Beberapa penulis seperti Estes (1973); Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol AB (1984); Henderson (1984) dan Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan beberapa contoh konkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu dikalangan para akuntan sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut.
Harahap (1988;1993; 2001) mengemukakan bahwa persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggungjawab sosial atau tidak, sampai saat ini masih terus merupakan perdebatan ilmiah dalam sistem ekonomi kapitalis. Lebih jauh Harahap (2002) menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan bentuk dari penyadaran kapitalis terhadap tanggung jawab sosial perusahaan melalui penyajian informasi akuntansi. Pro dan kontra tersebut tentunya dapat dipahami karena kelompok yang mendukung maupun yang tidak mendukung punya kepentingan dan argumentasinya masing-masing.
Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi sosial memang bukanlah hal yang baru, para pakar akuntansi di Indonesia juga telah melakukan analisis dan studi tentang kemungkinan penerapan akuntansi sosial di Indonesia (Harahap, 1988); lihat juga Bambang Sudibyo (1988); Hadibroto (1988) dalam Arief Suadi (1988), hanya saja akuntansi sosial menjadi kurang popular.
Terdapat dua hal yang menjadi kendala sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia, yaitu (1) lemahnya tekanan sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan, dan (2) rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung jawaban sosial. Menurut Penulis, perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat saat ini telah mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis kembali penerapan akuntansi sosial dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini.
Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, akuntansi berfungsi untuk memberikan informasi untuk pengambilan keputusan dan pertangungjawaban. Selama ini, laporan keuangan hanya difokuskan kepada kepentingan investor dan kreditor sebagai pemakai utama laporan keuangan. Hal ini tertuang mulai dari Standar Financial Accounting Concepts (SFAC) No.1. Selama ini perusahaan hanya menyampaikan informasi mengenai hasil operasi keuangan perusahaan kepada pemakai, tetapi mengabaikan eksternalitas dari operasi yang dilakukannya, misalnya polusi udara, pencemaran air, pemutusan hubungan kerja, dan lainnya. Akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan berita di surat kabar, televisi mengenai dampak operasi perusahaan yang tidak memperhatikan lingkungan di mana mereka beroperasi.
Contoh-contoh Permasalahan Sosial pada Dunia Bisnis di Indonesia
No.
Contoh Kasus
Lokasi
Permasalahan Sosial
1.
PT. Inti Indorayon Utama
Porsea, Prov. Sumatera Utara
Dihentikan operasinya karena masalah lingkungan dan masalah kemasyaratan di sekitar industri tersebut.
2.
PT. Exxon Mobil
Lhokseumawe, Aceh Utara, Prov. DI Aceh.
Menghentikan kegiatan produksi karena faktor stabilitas ekonomi.
3.
PT. Ajinamoto Indonesia
Prov. DKI Jakarta
Penarikan distribusi dan penghentian aktivitas produksi karena masalah sertifikasi halal oleh MUI.
4.
Beberapa perusahaan kertas di Riau.
Prov. Riau
Mendapatkan protes dari masyarakat setempat sehubungan dengan masalah limbah industri dan pencemaran lingkungan.
5.
PT. Maspion Indonesia
Sidoarjo, Surabaya, Prov. Jawa Timur
Permasalahan demonstrasi buruh dan masalah kesejahteraan karyawan.
6.
PT. Telkom Indonesia
Divre IV, Prov. Jawa Tengah dan  DIY
Serikat karyawan PT. Telkom menolak penjualan Divre IV kepada PT. Indosat.
7.
PT. BCA
Prov. DKI Jakarta
Serikat pekerja menolak divestasi saham BCA.
8.
PT. Kereta Api Indonesia
Prov. DKI Jakarta
Serikat pekerja menolak kembalinya dewan direksi lama karena dianggap bertanggung jawab atas beberapa kasus kecelakaan kereta api yang terjadi di Indonesia.
9.
Bank Internasional Indonesia.
Prov. DKI Jakarta
Tuntunan karyawan atas peningkatan gaji, upah, dan kesejahteraan pekerja.
10.
PT. Gudang Garam
Kediri, Prov. Jawa Timur
Mogok kerja  massal karena karyawan menuntut perbaikan gaji dan kesejahteraan pekerja.





Sumber : Lubis I.A, 2010 Dalam Kholis, 2002, “Masalah Sosial dalam Akuntansi Bisnis di  Indonesia”, Media Riset Akuntansi, Auditing, dan Informasi, Vol.2, No.3, Desember.
            Hal ini akan mengancam kehidupan masyarakat pada masa mendatang.  Maka seharusnya bidang akuntansi memperhatikan hal seperti ini dan berperan dalam mengatasi masalah sosial dan lingkungan sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap pemangku kepentingan.
            Berangkat dari berkembangnya tuntutan dan kesadaran tanggungjawab sosial perusahaan, pro dan kontra terhadap konsep akuntansi sosial, dan pengembangan akuntansi sosial di Indonesia, makalah ini akan membahas mengenai perlunya memahami aspek perilaku dalam akuntansi sosial dan hal-hal lain yang berkaitan seperti laporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan, bentuk laporan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan, dan penerapannya di Indonesia. Aspek prilaku dalam akuntansi sosial dan hal-hal yang berkaitan tersebut tidak hanya bermanfaat bagi stakeholders, tetapi juga bagi perusahaan. Karena semakin pentingnya laporan ini maka selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selama ini belum banyak pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan yang dilakukan hanya bersifat persuasif.

1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah  ini adalah “Bagaimanakah Aspek perilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan lingkungan?’’





1.3         Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini bertujuan untuk :
Memahami aspek perilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan lingkungan.            

1.4         Manfaat Penulisan Makalah 
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : Sebagai informasi, masukan dan  bahan pertimbangan kepada semua yang berkepentingan baik para mahasiswa, pemilik perusahaaan dan seorang akuntan bahwa aspek prilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan lingkungan.























BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1  Konsep Aspek Keperilakuan dari Psikologi dan Psikologi Sosial
A.       Sikap
Sikap adalah suatu hal yang mempelajari mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan maupun yang kurang menguntungkan, tujuan manusia, objek, gagasan, atau situasi. Istilah objek dalam sikap digunakan untuk memasukkan semua objek yang mengarah pada reaksi seseorang.  
Ketiga  komponen sikap: pengertian (cognition), pengaruh (affect),   danperilaku (behavior). Susunan sikap yang dipandang berdasarkan ketiga komponen tersebut membantu untuk memahami kerumitan sikap dan hubungan potensial antara sikap dan perilaku.    Sikap disusun oleh komponen teori, emosional, dan perilaku. Komponen teori terdiri atas gagasan, persepsi, dan kepercayaan seseorang mengenai penolakan sikap. Komponen emosional atau afektif mengacu pada perasaan seseorang yang mengarah pada objek sikap. Komponen perilaku mengacu pada bagaimana satu kekuatan bereaksi terhadap objek/sikap.
Sikap memiliki empat fungsi utama: pemahaman,kebutuhan akan kepuasan, defensif ego, dan ungkapan nilai. Pemahaman atau pengetahuan berfungsi untuk membantu seseorang dalam memberikan maksud atau memahami situasi atau peristiwa baru. Sikap juga melayani suatu hal yang bermanfaat atau fungsi kebutuhan yang memuaskan. Sikap juga melayani fungsi defensif ego dengan melakukan pengembangan guna melindungi manusia dari pengetahuan yang berlandaskan kebenaran mengenai dasar manusia itu sendiri atau dunianya. Sikap juga melayani fungsi nilai ekspresi.
Orang-orang mengusahakan konsistensi antara sikap-sikapnya serta antara sikap dan perilakunya. Ini berarti bahwa individu-individu berusaha untuk menghubungkan sikap-sikap mereka yang terpisah dan menyelaraskan sikap dengan perilaku mereka sehingga mereka kelihatan rasional dan konsisten.
Formasi sikap mengacu pada pengembangan suatu sikap yang mengarah pada suatu objek yang tidak ada sebelumnya. Perubahan sikap mengacu pada substitusi sikap baru untuk seseorang yang telah ditangani sebelumnya. Sikap dibentuk berdasarkan karakter faktor psikologis, pribadi dan sosial. Hal pokok yang paling fundamental mengenai cara sikap dibentuk sepenuhnya berhubungan langsung dengan pengalaman pribadi terhadap suatu objek, yaitu pengalaman yang menyenangka maupun tidak, traumatis, frekuensi kejadian, dan pengembangan sikap tertentu yang mengarah pada gambaran hidup baru.
1.      Beberapa  Teori Terkait dengan Sikap
Teori Perubahan Sikap merupakan teori perubahan sikap yang dapat membantu untuk memprediksikan pendekatan yang paling efektif. Sikap, mungkin dapat berubah sebagai hasil pendekatan dan keadaan.
2.      Teori Pertimbangan Sosial merupakan teori pertimbangan sosial ini merupakan suatu hasil perubahan mengenai bagaimana orang-orang merasa menjadi suatu objek dan bukannya hasil perubahan dalam memercayai suatu objek. Teori ini menjelaskan bahwa manusia dapat menciptakan perubahan dalam sikap individu jika mau memahami struktur yang menyangkut sikap orang laindan membuat pendekatan setidaknya untuk dapat mengubah ancaman.
3.      Konsistensi dan Teori Perselisihan merupakan teori konsistensi menjaga hubungan antara sikap dan perilaku dalam ketidakstabilan, walaupun tidak ada tekanan teori dalam sistem. Teori perselisihan adalah suatu variasi dari teori konsistensi.
4.      Teori Disonansi Kognitif, Leon Festinger pada tahun 1950-an mengemukakan teori Disonansi Kognitif. Teori ini menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku. Disonansi dalam hal ini berarti adanya suatu inkonsistensi. Festinger mengatakan bahwa hasrat untuk mengurangi disonansi akan ditentukan oleh pentingnya unsur-unsur yang menciptakan disonansi itu, derajat pengaruh yang diyakini dimiliki oleh individu terhadap unsur-unsur itu, dan ganjaran yang mungkin terlibat dalam disonansi. Teori ini dapat membantu kecenderungan untuk mengambil bagian dalam perubahan sikap dan perilaku.
5.      Teori Persepsi Diri merupakan teori persepsi diri menganggap bahwa orang-orang mengembangkan sikap berdasarkan bagaimana mereka mengamati dan menginterpretasikan perilaku mereka sendiri. Teori ini mengusulkan fakta bahwa sikap tidak menentukan perilaku, tetapi sikap itu dibentuk setelah perilaku terjadi guna menawarkan sikap yang konsisten dengan perilaku.
6.      Teori Motivasi dan Aplikasinya, terdapat keyakinan bahwa perilaku manusia ditimbulkan oleh adanya motivasi. Dengan demikian, ada sesuatu yang mendorong (memotivasi) seseorang untuk berbuat sesuatu.
7.      Teori Motivasi Awal,  Tiga teori spesifik dirumuskan selama kurun waktu tahu 1950-an. Ketiga teori ini adalah teori hierarki kebutuhan,teori X dan Y, dan teori motivasi higiene. Teori-teori ini bersifat awal karena: 1) teori-teori ini mewakili suatu dasar dari mana teori-teori kontemporer berkembang, dan 2) para manajer mempraktikkan penggunaan teori dan istilah-istilah ini untuk menjelaskan motivasi karyawan secara teratur.
8.      Teori Kebutuhan dan Kepuasan, Moslow menjelaskan suatu bentuk teori kelas. Teorinya menjelaskan bahwa masing-masing individu mempunyai beraneka ragam kebutuhan yang dapat mempengaruhi perilaku mereka. Hierarki kebutuhan manusia oleh Moslow:
a.         Kebutuhan fisiologis (physiologis needs ), yaitu kebutuhan fisik , seperti rasa lapar, rasa haus, kebutuhan akan perumahan, pakaian, dan lain sebagainya.
b.         Kebutuhan akan keamanan (safety needs ), yaitu akan kebutuhan keselamatan dan perlindungan dari bahaya, ancaman, perampasan atau pemecatan.
c.         Kebutuhan sosial (social needs ), yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan dalam menjalin hubunnga dengan orang lain, kebutuhan akan kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu kelompok, rasa kekeluargaan, persahabatan, dan kasih sayang.
d.        Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs ), yaitu kebutuhan akan status atau kedudukan, kehormatan diri, reputasi, dan prestasi.
e.         Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization needs ), yaitu kebutuhan pemenuhan diri untuk mempergunakan potensi ekspresi diri dan melakukan apa yang paling sesuai dengan dirinya.
9.      Teori Prestasi, Teori ini pada awalnya dikembangkan oleh McClelland pada awal tahun 1990. Teori McClelland mempunyai suatu faktor hierarki yang memotivasi perilaku. Dalam kasus ini, terdapat tiga faktor yaitu prestasi, kekuatan dan afiliasi. Riset yang dilakukan oleh McClellandmembri hasil bahwa terdapat tiga karakreristik dari orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi, yaitu :
a.    Orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pelaksanaan suatu tugas atau pencarian solusi atas suatu permasalahan.
b.    Orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi cenderung menetapkan tingkat kesulitan tugas yang moderat dan menghitung risikonya.
c.    Orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh umpan balik (feed back ) atau tanggapan atas pelaksanaan tugasnya.

10.  Teori Motivasi,          Pada pertengehan tahun 1960-an Herzberg mengajukan suatu teori motivasi yang di bagi kedalam beberapa faktor. Asumsi terpenting dari bentuk teori Herzberg adalah faktor yang mempunyai pengaruh positif dalam motivasi dan menjadi bahan perbedaan yang menyenangkan dari seluruh pengaruh negatif. Faktor-faktor ini meliputi : kebijakan perusahaan, kondisi pekerjaan, hubungan perseorangan, keamanan kerja dan gaji. Faktor motivasi meliputi : prestasi, pengakuan, tantangan pekerjaan, promosi, dan tanggung jawab. 
11.  Teori Keadilan,         Teori keadilan pertama kali dipublikasikan oleh Adam pada tahun1963. Dalam teori keadilan, kunci ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh seorang individu adalah jika orang tersebut membandingkannya dengan lingkungan lainnya.
12.  Teori Harapan, Teori ini dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Kurt Levin dan Edward Tolman. Teori harapan disebut juga teori valensi atau teori instrumentalis. Ide dasar teori ini adalah bahwa motivasi ditentukan oleh hasil yang diharapkan akan diperoleh seseorang sebagai akibat dari tindakannya. Variabel-variabel kunci dalam teori harapan adalah: usaha (effort), hasil (income),harapan (expectancy), instrumen-instrumen yang berkaitan dengan hubungan antara hasil tingkat pertama dengan hasil tingkat kedua,hubungan antara prestasi dan imbalan atas pencapaian prestasi, serta valensi yang berkaitan dengan kader kekuatan dan keinginan seseorang terhadap hasil tertentu.
13.  Teori Penguatan, Teori penguatan memiliki konsep dasar yaitu :
Pusat perhatian adalah pada perilaku yang dapat diukur, seperti jumlah yang dapat diproduksi, kualitas produksi, ketepatan pelaksanaan jadwal produksi, dan sebagainya. Kontinjensi penguatan (contingencies of reinforcement), yaitu berkaitan dengan urutan-urutan antara stimulus, tanggapan, dan konsekuensi dari perilaku yang ditimbulkan. Semakin pendek interval waktu antara tanggapan atau respon karyawan (misalnya prestasi kerja) dengan pemberian penguatan (imbalan), maka semakin besar pengaruhya terhadap perilaku.
14.  Teori Penetapan Tujuan, Teori ini dikembangkan oleh Edwin Loceke(1986) konsep dasar dari teori ini adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan (apa yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan terpengaruh perilaku kerjanya.
15.  Teori Atribusi, Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu factor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan.
16.  Teori Agensi, Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien dan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkunngan. Teori ini secara umum mengasumsikan bahwa principal bersikap netral terdadap risiko sementara agen bersikap menolak usaha dan risiko.

B.       Persepsi
Persepsi adalah Bagaimana orang-orang melihat atau menginterprestasikan peristiwa, objek, serta manusia. Menurur kamus Bahasa Indonesia Persepsi adalah sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indra. Sedang dalam lingkup yang lebih luas Persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan menginterprestasikan stimulus yang ditunjukkan oleh panca indra. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi adalah sebagai berikut:
a.    Faktor Dalam Situasi yang terdiri dari waktu, keadan (tempat kerja), keadan sosial.
b.    Faktor Pada Pemersepsian yang terdiri dari sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan pengharapan.
c.    Faktor Pada Target yang terdiri dari hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, kedekatan.
Perilaku para akuntan dapat menerapkan pengetahuan persepsi terhadap banyak aktifitas organisasi. Misalnya dalam evaluasi kinerja, cara penilaian atas seseorang mungkin dipengaruhi oleh ketelitian persepsi penyedia. Kesalahan atau bias penilaian mungkin diakibatkan oleh sandiwara yang mencoba untuk menakut-nakuti sehingga karyawan mrasa tidak puas dan meninggalkan perusahaan. Oleh karena itu para penyelia perlu mengenali perasaan mereka terhadap bawahannya. Bawahan tertentu dapat mempengaruh evaluasi mereka, dan harus waspada terhadap sumber penyimpangan persepsi ini. Kesalahan persepsi dapat juga mendorong kearah ketegangan hubungan antar pribadi karyawan. Ketika sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang menegangkan seorang penyelia perlu menentukan penyebab terjadinya peristiwa bisnis yang dipandang berbeda oleh orang-orang yang berbeda.


C.  Nilai
     Nilai secara mendasar dinyatakan sebagai suatu modus perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas dan lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan suatu modus perilaku atau keadaan akhir yang berlawanaan.
     Dalam mempelajari perilaku dalam organisasi, nilai dinyatakan penting karena nilai meletakkan dasar untuk memahami sikap serta motivasi dan karena nilai memengaruhi sikap manusia.seseorang memasuki organisasi dengan gagasan yang dikonsepkan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya.
     Permasalahan profesi akuntansi sekarang ini banyak dipengaruhi masalah kemerosotan standar etika dan krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para akuntan untuk lebih berbenah diri, memperkuat kedisiplinan mengatur dirinya dengan benar, serta menjalin hubungan yang lebih baik dengan para klien atau masyarakat luas. Misal: skandal Enron yang melibatkan Arthur Anderson, serta skndal Worldcom, Merck, dan Xerox, profesi akuntan menjadi gempar.

D.  Pembelajaran
     Pembelajaran adalah proses dimana perilaku baru diperlukan. pembelajaran terjadi sebagai hasil dari motivasi, pengalaman, dan pengulangaan dalam merespon situasi. Kombinasi dari motivasi, pengalaman dan pengulangan dalam merespons situasi ini terjadi dalam tiga bentuk: pengaruh keadaan klasik, pengaruh keadaan operant, dan pembelajaran sosial.
     Walaupun teori pembelajaran sosial merupakan suatu perpanjangan dari pengondisian operant, di mana teori tersebut mengandalkan perilaku sebagai suatu fungsi dari konsekuensi-konsekuensi, teori itu juga mengakui eksistensi pembelajaran observasional(lewat pengamatan) dan pentingya persepsi dalam belajar.

E.    Kepribadian
     Aplikasi utama dari teori kepribadian dalam organisasi adalah memprediksikan perilaku. Pengujian terhadap perilaku ditentukan oleh banyaknya efektivitas dalam tekanan pekerjaan, siapa yang akan menanggapi kritikan dengan baik, siapa yng pertama harus dipuji dahulu sebelum berbicara mengenai perilaku tidak diinginkan, siapa yang menjadi seorang pemimpin potensial. Semuanya itu merupakan bentuk-bentuk pemahamaan atau kepribadian.
     Suatu argumen dini dalam riset kepribadian adalah apakah kepribadian seseorang merupakan hasil keturunan atau lingkungan. Kepribadian tampaknya merupakan hasil dari kedua pengaruh tersebut. Selain itu, dewasa ini dikenal faktor ketiga, yaitu faktor situasi
a.       Keturunan, Pendekatan keturunan beragumentasi bahwa penjelasan paling akhir dari kepribadian seseorang individu adalah struktur molekul dari gen yang terletak dalam kromosom.
b.      Lingkungan, Di antara faktor-faktor yang menekankan pada pembentukan kepribadian adalah budaya dimana seseorang dibesarkan, pengondisian dini, norma-norma di antara keluarga, temam-teman, dan kelompok-kelompok social, serta pengaruh lain yang dialmi.
c.       Situasi, Faktor ini mempengaruhi dampak keturunan dan lingkungan terhadap kepribadian. Kepribadian seseorang walaupun kelihatannya mantap dan konsisten, dapat berubah pada kondisi yang berbeda.

2.2   Definisi Akuntansi sosial
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan istilah Social Accounting dan mendefinisikannya sebagai proses pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988) menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993) membuat suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan dengan lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar akuntansi di Indonesia menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai suatu pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur pelaporan dan komunikasi informasi kepada pihak–pihak yang berkepentingan. Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan gambaran tentang hubungan mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan informasi yang dihasilkan, sehingga secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh para pakar akuntansi mengenai akuntansi sosial memiliki karakteristik yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988), yaitu Akuntansi sosial berkaitan erat dengan masalah : (1) Penilaian dampak sosial dari kegiatan entitas bisnis, (2) mengukur kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab sosial perusahaan, dan (4) sistem informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap sumber-sumber daya perusahaan dan dampaknya secara sosial ekonomi.
Akuntansi Sosial sering juga disebut Akuntansi Lingkungan ataupun Akuntansi Sosial Ekonomi, oleh Belkoui (2000), yang diterjemahkan Ramanathan, didefinisikan sebagai proses seleksi variabel-variabel kinerja sosial tingkat perusahaan, ukuran dan prosedur pengukuran; yang secara sistematis mengembangkan informasi yang bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja sosial perusahaan dan mengkomunikasikan informasi tersebut kepada kelompok sosial yang tertarik, baik di dalam maupun di luar perusahaan. Sedangkan menurut Haniffa (2002), Akuntansi sosial mengidentifikasi, menilai dan mengukur aspek penting dari kegiatan sosial ekonomi perusahaan dan negara dalam memelihara kualitas hidup masyarakat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkannya.
Kegundahan Gray (1994) tentang memaknai akuntansi sosial dan lingkungan membawa proses pertumbuhan pemahaman terhadap sub disiplin akuntansi ini. Akuntansi sosial dan lingkungan (yang kita ketahui juga sebagai akuntansi sosial, akuntansi lingkungan, corporate social reporting, corporate sosial responsibility reporting, non-financial reporting, atau sustainability accounting) adalah proses pengkomunikasian efek sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi organisasi kepada beberapa kelompok tertentu dalam suatu lingkungan. Akuntansi sosial dan lingkungan biasa digunakan dalam hubungannya dengan bisnis, walaupun organisasi secara luas, seperti NGO, dan institusi pemerintahan bahkan institusi pendidikan juga menggunakannya.
Pandangan lebih khusus dan sangat kalkulatif disampaikan oleh Belkaoui (2006: 349). Belkaoui mengartikan akuntansi sosial dan lingkungan sebagai proses untuk memilih variabel, mengukur, dan menghasilkan pengukuran dari kinerja sosial dalam tingkatan organisasi; yang secara sistematis mengembangkan informasi yang berguna untuk evaluasi kinerja sosial organisasi tersebut, dan mengkomunikasikan bahwa informasi untuk kelompok-kelompok sosial itu adalah suatu hal yang penting, baik untuk internal maupun eksternal organisasi. Kemudian Zarkasyi (2007: 10) mendefinisikan akuntansi sosial dan lingkungan adalah suatu usaha untuk mengganti kerugian dengan pertimbangan bahwa organisasi mempengaruhi, melalui tindakannya, pada lingkungan eksternal (baik secara positif dan negatif) dan karenanya harus memperhitungkan efek-efek sebagai bagian dari keseluruhan akuntansi sebagai tindakannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa akuntansi mempunyai perhatian dalam caranya untuk tidak membebaskan manusia dan organisasinya tumbuh begitu saja dengan tidak memperdulikan sosial dan lingkungannya.
Secara khusus Hendricksen dan Breda (1992: 10) menggambarkan keprihatinan organisasi pada isu-isu dalam pandangan mikro-ekonomi akuntansi tidak harus mencakup semua efek organisasi terhadap masyarakat. Adalah penting biaya polusi terhadap lingkungan, pengangguran, kondisi kerja yang tidak sehat, dan masalah sosial lainnya biasanya tidak dilaporkan oleh organisasi, kecuali bahwa biaya tersebut ditanggung langsung oleh organisasi melalui perpajakan dan regulasi.
Menurut Sahid (2002), ada beberapa pengertian akuntansi lingkungan atau akuntansi sosial, ada pengertian yang luas dan ada pula pengertian yang sempit. Dalam pengertian yang luas dalam himpunan istilah lingkungan untuk manajemen (Handry Satriago), akuntansi lingkungan merupakan proses akunting yang:
a.         Mengenali, mencari, dan kemudian mengurangi efek-efek lingkungan negatif dari pelaksanaan praktik laporan yang konvensional;
b.        Mengenali secara terpisah biaya-biaya dan penghasilan yang berhubungan dengan lingkungan dalam sistem laporan yang konvensional;
c.         Mengambil langkah-langkah aktif untuk menyusun inisiatif-inisiatif untuk memperbaiki efek-efek lingkungan yang timbul dari praktik-praktik pelaporan konvensional;
d.        Merencanakan bentuk-bentuk baru sistem laporan finansial dan non finansial, sistem informasi dan sistem pengawasan untuk lebih mendukung keputusan manajemen yang secara lingkungan tidak berbahaya;
e.         Mengembangkan bentuk-bentuk baru dalam pengukuran kinerja, pelaporan, dan penilaian untuk tujuan internal dan eksternal;
f.         Mengenali, menguji, mencari dan memperbaiki area-area dimana kriteria finansial konvensional dan kriteria lingkungan bertentangan;
g.        Mencoba cara-cara dimana sistem berkelanjutan dapat dinilai dan digabungkan menjadi kebiasaan yang berhubungan dengan organisasi.
Dalam pengertian sempit, sebagaimana dikemukakan dalam Natural Resource Accounting, salah satu dokumen INTOSAI Working Group on Environtmental Auditing menyatakan bahwa “akuntansi lingkungan sebagai kompilasi data lingkungan dalam kerangka kerja akuntansi”. (Sahid, 2002)
Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat bahwa akuntansi sosial memberikan gambaran mengenai interaksi dari aktivitas perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Akuntansi sosial juga memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja sosial dari perusahaan.
Dari beberapa pengertian akuntansi sosial di atas maka dapt dismpulkan dari pengertian akuntansi sosialadalah mengidentifikasi, mengukur dan melaporkan hubungan antara bisnis dan lingkungannya. Lingkungan bisnis meliputi sumber daya alam, komunitas dimasa bisnis tersebut beroperasi, orang-orang yang dipekerjakan, pelanggan, pesaing, dan perusahaan serta kelompok lain yang berurusan dengan bisnis tersebut. Prose pelaporan dapat bersifat baik internal maupun eksternal.

2.3         Fase-Fase Perkembangan Akuntansi Sosial dan Lingkungan
Avatar Grace adalah seorang peneliti flora dan fauna yang berpendapat bahwa lingkungan Pandora mempunyai sistem bio-botanical neural network. Bio-botanical neural network ini mempunyai satu kesatuan dalam system alam yang tidak dapat dipisahkan. Bila satu dihancurkan akan berpengaruh kepada yang lain. Avatar pada sistem kehidupan penduduk Na‘vi mempunyai fase pertumbuhan dan pengembangan dengan sistem jaringan neural (saraf).
Metafora ini seiring dengan fase-fase perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan (Lihat Gambar 1 dibawah ini). Gambar tersebut adalah sistem jaringan saraf yang antara satu dengan yang lain mempunyai kaitan dan saling mempunyai relasi. Menariknya dari Gambar tersebut adalah Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya (JAUB) berada dalam system jaringan saraf perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan dunia. JAUB masuk dalam pusaran jaringan saraf ke sepuluh dengan kontribusi nya pada titik saraf sosio-spiritual akuntansi. Mari kita telaah kontribusi JAUB pada Perkembangan Akuntansi Sosial dan Lingkungan di Dunia ini.
Fase Pertama Howard Bowen
Howard Bowen (1908-1989) adalah seorang historian ekonom Amerika yang memberikan inspirasi kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Bowen mengawali karirnya di University of Iowa, hingga keposisi the presiden of Grinnell College, the University of Iowa. Kontribusi Bowen adalah dengan publikasi buku dengan judul Social Responsibility of Businessmen tahun 1953. Bowen (1953) meletakan dasar konsep ini dengan mengatakan
it refers to the obligation of businessman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society ‖.
Kemudian secara kolektif dijadikan landasan awal mendefinisikan tanggungjawab sosial bagi kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan (objectives) dan nilai-nilai masyarakat (Society values). Konsep ini merontokan faham ekonomi yang dengan perngorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Jadi sudah lama hukum ekonomi yang selalu kita dengar di sekitar kita ini telah rontok. Jangan lah kita pakai lagi pemahaman hukum ekonomi ini, berkorban sedikit untuk hasil yang sebesarnya. Nilai-nilai sosial dan lingkungan harus menjadi tujuan organisasi. Sekalipun masa itu belum sangat berarti dalam perkembangannya, tetapi American Accounting Association (1971) mencatat bahwa fase ini mulai bermunculan gagasan, konsep, proposal dan pendekatan untuk memperkenalkan awal akuntansi sosial dan lingkungan. Asosiasi ini berpandangan bahwa Non-Financial Measures (atau Pengukuran Non Keuangan) adalah penting untuk efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis
Menyambung apa yang digagas oleh Bowen (1953), Davis (1960) memperkenalkan tulisnya tentang Can Business Afford to Ignore its Social Responsibilities? Davis secara tajam berpandangan bahwa tanggungjawab sosial harus dimiliki oleh organisasi. Businesses' decisions and actions taken for reasons at least partially beyond the firm‘s direct economic or technical interest (Davis, 1960)
Dengan pernyataan ini Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial organisasi di luar tanggung jawab ekonomi semata. Argumen Davis menjadi sangat relevan, karena pada masa tersebut (1960an) pandangan mengenai tanggung jawab sosial organisasi masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu, para ekonom klasik memandang para pelaku bisnis itu memiliki tanggung jawab sosial sebatas penggunaan sumber daya organisasi mereka secara efisien, untuk menghasilkan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Tanggungjawab sosial mereka sebatas masyarakat dapat membeli dengan harga yang telah diciptakan secara efisien. Bila hal tersebut berjalan dengan baik maka organisasi akan mendapatkan keuntungan atas penjualan dan kemudian organisasi akan mampu melakukan tanggung jawab sosialnya, seperti:
a. Menciptakan lapangan kerja.
b. Memberi kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak.
c. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.
Para ekonom klasik ini secara kuat berpandangan bahwa memupuk laba semaksimal mungkin adalah cara klasik mereka dalam berbisnis.

Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Committee for Economic Development (CED) adalah organisasi non-profit dan non-partisan Amerika yang beranggotakan 200 senior corporate executives dan pemimpin universitas terkemuka membuat laporan sangat fenomena tahun 1971 berjudul ―Social Responsibilities of Business Corporations.‖ Laporan tersebut menggunakan ―three concentric circles‖ yaitu
Firstly, the inner circle included basic economic functions—growth, products, jobs. Secondly, the intermediate circle suggested that the economic functions must be exercised with a sensitive awareness of changing social values and priorities.
And thirdly, the outer circle outlined newly emerging and still amorphous responsibilities that business should assume to become more actively involved in improving the social Environment (Carroll, 1991)
Three concentric cicles ini dapat difahami bahwa
1.      Inner circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab terdalam)
Pada lingkaran ini organisasi bisnis diharapkan mampu melaksanakan pertumbuhan ekonomi, menghasilkan barang/ jasa, dan menyediakan aktivitas pekerjaan kepada masyarakat.
2.      Intermediate circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab menengah)
Menunjukkan tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi sementara pada saat yang sama memiliki kepekaan kesadaran terhadap perubahan nilai-nilai dan prioritas-prioritas sosial seperti meningkatnya perhatian terhadap konservasi lingkungan hidup, hubungan dengan karyawan, meningkatnya ekspektasi konsumen untuk memperoleh informasi produk yang jelas, serta perlakuan yang adil terhadap karyawan di tempat bekerja.
3.      Outer circle of responsibilities (lingkaran tanggung jawab terluar)
Mencakup kewajiban perusahaan untuk lebih aktif dalam meningkatkan kualitas lingkungan sosial. Pada tahun 1971 ini ditandai dengan pemahaman yang komprehensif terhadap akuntansi sosial dan lingkungan dalam kehidupan bisnis, sebagai akibat three concentric cicles.
Today it is clear that the terms of social contract between society and business are, in fact, changing in substantial and important ways. Business is being ask to assume broader responsibilities to society than ever before and to serve a wider range of human values. Business enterprise, in effect, are being asked to contribute more to the quality of American life than just supplying quantities of goods and services.‖
Carroll (1979) menjelaskan komponen-komponen tanggungjawab sosial organisasi bisnis ke dalam empat kategori, yaitu:
1.             Economic responsibilities, tanggungjawab sosial pada kategori ini berlandaskan bahwa motif profit adalah motif utama dalam membangun organisasi bisnis. Organisasi bisnis pada dasarnya adalah tanggungjawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri atas aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat yang menguntungkan.
2.             Legal responsibilities, tanggungjawab organisasi dalm menjalankan bisnis yaitu dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku di mana hukum dan peraturan tersebut pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif. Tanggungjawab legal ini adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi dalam berbisnis.
3.             Ethical responsibilities, organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya secara etis dan norma moral masyarakat. Masing-masing pihak dalam menjalankan bisnis diatur standar, etika, norma agar masing-masing puas dalam berbisnis.
4.             Discretionary responsibilities, tanggungjawab ini bersumber pada pandangan bahwa keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Ekspektasi masyarakat tersebut dipenuhi oleh organisasi melalui berbagai program yang bersifat Filantropis (kedermawanan).
Selain isu mengenai kapasitas organisasi dalam memberikan respons terhadap tekanan-tekanan sosial yang akan tercermin dari citra organisasi di mata publik, perkembangan akuntansi sosial pada tahun 1970-an sampai 1980-an juga lingmencatat adanya kebutuhan baru dari organisasi yang melaksanakan aktivitas pelaporan sosial dan lingkungan agar aktivitas sosial dan lingkungan yang mereka lakukan terukur. Oleh karenanya, para peneliti seperti Carroll (1979); Wartick dan Cochran (1985); dan Wood (1991) mengembangkan konsep yang disebut dengan corporate social performance (CSP), yang didalamnya mengandung tiga dimensi, yaitu:
1.        Dimensi kategori tanggung jawab sosial (ekonomi, hukum, etika, dan discretionary).
2.        Dimensi kemampuan memberikan respons (responsiveness).
3.        Dimensi dalam isu sosial tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi pekerja, keamanan produk, keselamatan pekerja dan pemegang saham).
Berkaitan dengan hal tersebut, Wood (1991) mendefinisikan CSP sebagai: ―a business organization`s of principle of social responsibilities, process of social responsiveness, and policies, programs and observable outcomes as they relate to the firm`s societal relationship‖.
Sebagaimana dapat dilihat dari definisi CSP tersebut, dampak pelaksanaan akuntansi sosial dan lingkungan yang dapat diamati (observable outcome) merupakan isu penting dalam model CSP yang membedakannya dengan konsep akuntansi sosial dan lingkungan generasi awal. Hal ini sejalan dengan menguatnya tuntutan agar pelaksanaan akuntansi sosial dan lingkungan dapat memberikan dampak yang terukur serta memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan organisasi.
Fase Keempat Mandatori Regulasi Perancis Pertama di Dunia
Davis (1960) kemudian mempertegas argumennya dengan statemen tentang ―iron law of responsibility‖ yang menjadi fase ini tumbuh sebagai penyemangat kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Davis menyatakan bahwa: ―social responsibility of businessman need to be commensurate with their social power…then the avoidance of social responsibility leads to gradual erosion of social power ―.Argumen-argumen yang dibangun oleh Davis, menjadi cikal bakal untuk identifikasi kewajiban organisasi bisnis yang akan mendorong munculnya konsep akuntansi sosial dan lingkungan di era 70-an. Selain itu, konsepsi Davis mengenai ―iron law of responsibility― menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan suatu organisasi. Negara Amerika lebih dulu mengembangkan tanggungjawab ini, kendatipun regulasi belum dilaksanakan secara mandatory. Beberapa Negara seperti German dan Eropa Barat kemudian mengikuti mengadopsi regulasi yang pertama dilakukan oleh Amerika tentang laporan tanggungjawab sosial (Social Responsibility Reporting) (Preston, et.al 1978). Perancis adalah Negara yang pertama pada tahun 1977 mewajibkan organisasi bisnis untuk melaporkan kegiatan tanggungjawab sosialnya.
―the only country that actually did introduce legislation requiring corporate social reporting at this time was France in 1977. The French law mandates a report "composed of a lengthy list of indicators open to ulterior statistical treatments and multiple interpretations" and its scope is quite narrow, covering employee issues butno impacts of business on the social or natural environment "even though preliminary work had provided for this possibility" (Capron 1997, p.3)
Fase ini membawa perubahan yang sangat mendasar tentang beberapa persyaratan detail tentang pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan. Kendatipun hal ini masih terbatas di Perancis, tetapi regulasi ini menjadi dasar kajian beberapa Negara maju untuk mulai memikirkan tentang implementasi akuntansi sosial dan lingkungan.


Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi neoliberalisme yang konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan. Propaganda kedermawanan para pemilik perusahaan besar mulai mengatur strategi baru untuk extra hati-hati terhadap pengeluaran dana mereka. Para pemegang saham perusahaan besar mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap tanggungjawab sosial mereka. Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi dengan kinerja perusahaan-perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM, General Motors dan Westinghouse di Amerika. Saat bersamaan pula terjadinya skandal keuangan oleh antara lain Maxwell dan Adir di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi tentang corporate governance yang mengutamakan para pemegang saham. Ini berdampak ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi bisnis besar dunia.
Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang ketat, konsep dan kerangka model akuntansi sosial dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya pada masa ini beberapa konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut adalah Socially Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di UK.
Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansiil dan non-finansiil dalam menilai kinerja organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman, yang kemudian didesain ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi sosial dan lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance Scorecard. Ke empat perspektif sangat fenomenal tersebut adalah
Financial: encourages the identification of a few relevant high-level financial measures. In particular, designers were encouraged to choose measures that helped inform the answer to the question "How do we look to shareholders?"
Customer: encourages the identification of measures that answer the question "How do customers see us?"
Internal Business Processes: encourages the identification of measures that answer the question "What must we excel at?"
Learning and Growth: encourages the identification of measures that answer the question "Can we continue to improve and create value?".
Awal tahun 1990an merupakan booming model pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan dengan memanfaatkan konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar di Amerika dan Eropa menggunakan konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan kepedulian organisasinya kepada stakeholdernya.
Fase Ketujuh Robert Hugh Gray
Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan tidak diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi sosial dan lingkungan hingga gagasan accounting for sustainability. Gray (1993) mengidentifikasikan warna yang beda terhadap metode akuntansi sustainabilitas. Metode tersebut adalah
1.             Sustainable Cost, metode ini memberikan penekanan pada biaya yang harus dikeluarkan oleh organisasi pada akhir periode akuntansi, untuk mengembalikan dampak lingkungan hidup seperti posisi semula.
2.             Natural Capital Inventory Accounting, metode ini memberikan perhatian serius terhadap keberadaan Modal Alam (Natural Capital), sebagai penyertaan yang selalu ada.
3.             Input – Output Analysis, metode ini melaporkan arus fisik pemanfaatan material dan energy dan keluar atas produk dan barang sisa dalam unit.
Pada Fase ini, pemahaman akuntansi sosial dan lingkungan secara khusus didesain secara quantitative dalam bentuk nilai moneter, sebagaimana melengkapi akuntansi konvensional selama ini.
Fase Kedelapan John Elkington’s Triple Bottom Line
Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep ‗triple bottom line‘. Konsep ini memberikan inspirasi lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensioanl yang ‗single bottom line‘, yaitu keuangan saja. Istilah ‗Triple Bottom Line‘menjadi penting saat people, planet dan profit ditawarkan menjadi konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial dan lingkungan.
1.             Profit (Keuntungan perusahaan)
Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2.             People (Kesejahteraan manusia/masyarakat)
Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program Corporate Social Responsibility seperti pemberian beasiswa bagi pelajar di sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.

3.             Planet (Keberlanjutan lingkungan hidup)
Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program Corporate Social Responsibility yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman dan pengembangan pariwisata.
Triple bottom line dengan ‖triple P‖ dapat disimpulkan bahwa ‖profit‖ sebagai wujud aspek ekonomi, planet‖ sebagai wujud aspek lingkungan dan ‖people‖ sebagai aspek sosial. Dan jika dirinci lebih lanjut dari ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka ketiga aspek tersebut dapat diwujudkan dalam kegiatan berikut:
1.             Aspek Sosial, misalnya: pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan,penguatan kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya.
2.             Aspek Ekonomi, misalnya: kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil dan menegah, agrobisnis, pembukaan lapangan pekerjaan, infrastruktur ekonomi dan usaha produktif lain.
3.             Aspek Lingkungan,misalnya: penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air, pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pegendalian polusi, serta penggunaan produksi dan energi secara efisien.
Ketiga aspek tersebut tanpa kehadiran aspek spiritual yang implementasinya dibutuhkan strategi tertentu. Adapun strategi dasar yang dapat digunakan dalam implementasi akuntansi sosial dan lingkungan tersebut adalah:
1.             Penguatan kapasitas (capacity building)
2.             Kemitraan (collaboration), dan
3.             Penerapan inovasi.
Sedangkan menurut Brodshaw dan Vogel (1981) menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari garis besar ruang lingkup akuntansi sosial dan lingkungan yaitu sebagai berikut:
1.             Corporate philantrophy adalah usaha-usaha amal yang dilakukan oleh suatu organisasi, dimana usaha-usaha amal ini tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan normal organisasi.
2.             Corporate responsibility adalah usaha-usaha wujud tanggung jawab sosial organisasi ketika sedang mengejar profitabilitas sebagai tujuan organisasi.
3.             Corporate policy adalah berkaitan erat dengan bagaimana hubungan organisasi dengan pemerintah yang meliputi posisi suatu organisasi dengan adanya berbagai kebijakan pemerintah yang mempengaruhi baik untuk organisasi atau masyarakat secara keseluruhan.
Akuntansi sosial dan lingkungan pada fase ini mulai disibukkan dengan model laporan yang memberikan kategori relasi aktivitas berhubungan dengan masyarakat, ekonomi dan lingkungan.
Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Elkington (1997), NGO CERES (Coalition for Environmentally Responsible Economies) dan the United Nations Environment Programmes (UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative), organisasi independen yang membangun standar Sustainability Reporting. Guideline GRI pertama dikeluarkan tahun 1999 (GRI, 1997)
GRI was set up to develop and disseminate globally applicable Sustainability Reporting Guidelines. It helps organisations – and their stakeholders – to report on the economic, environmental, and social dimensions of their activities, products, and services, using six extra-financial indicators.
The GRI recognises the need for non-financial indicators to measure a company's impact in terms of sustainable development and also to assess its overall performance, a factor that contributes to its future profitability.
GRI mengidentifikasikan 6 (enam) extra-indikator keuangan: aspek kemasyarakatan, ekonomi, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, tanggungjawab produk. Hingga sekarang GRI telah mengeluarkan pedoman generasi ke 3 (G3 GRI) pada tahun 2006. Fase ini membawa perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan menjadi lebih baik dan menjadi pola adopsi yang cukup luas. Model pelaporan GRI G3 ini menginspirasi model pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan sebagai alternatif pelaporan akuntansi konvensional. Model GRI ini disimpulkan dengan tanpa kehadiran aspek spiritual, yang banyak ahli dari banyak lintas disiplin ilmu, mempunyai banyak terobosan pelaporan komprehensif aktivitas bisnis, kendatipun tanpa aspek spiritual ada di dalamnya.
Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi
Akuntansi telah memasuki phenomena baru ‗beyond materiality‘ (Sukoharsono, 2008). Akhir tahun 2000, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya memperkenalkan pemahaman akuntansi tidak hanya terbatas pada ‗angka moneter‘ dan ‗tabel jurnal transaksi ekonomi‘, tetapi juga memperkenalkan relasi ‗spiritualitas‘ dan ‗metafisika‘ (Sukoharsono, 2009). Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan organisasi (kelompok orang) mempunyai tanggungjawab membangun peristiwa-peristiwa ekonomi, sosial dan lingkungan dalam organisasi nya yang direlasikan dengan ‗holy spirit‘.
Holy spirit merupakan bentuk berbasis religiusitas dan universalitas. Pada pembahasan ini lebih diutamakan holy spirit dalam bentuk universalitas yang dapat dimaknai dengan kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran. Lima dimensi ini adalah indikator utama dalam proses pertanggungjawaban individu dan organisasi disekelilingnya. Sosio-Spiritualitas Akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan holy spirit dalam mengkreasi dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kesatuan organisasi.
Walaupun konvensi akuntansi menggunakan ‗monetary unit‘ dalam pengukuran dan diskursus kebijakannya, sosio-spiritual akuntansi dibangun dengan memanfaatan ‗multiple units of measurements‘ untuk menilai kinerja individu dan organisasi. Multiple units of measurements ini pada dasarnya untuk memberikan assessmen terhadap 5 (lima) unsur holy spirit: kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran.
Fase Kesepuluh ini JAUB mengajak dunia Akuntansi sadar akan nilai-nilai ‗diatas‘ materialitas (beyond materiality). Sosio Spiritual Akuntansi hadir untuk mengkodifikasi kinerja individu dan organisasi pada ke 5 (lima) unsur holy spirit tersebut yang dilaporkan secara periodik kepada stakeholders.

2.4         Tujuan Akuntansi Sosial
Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994) adalah untuk memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) juga menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : (1) mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda, (2) membantu menentukan apakah strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi individu pada pihak lain, (3) memberikan dengan cara yang optimal, kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan, program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial perusahaan.
Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi masalah–masalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga pos–pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan.

2.5         Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
Tanggung jawab sosial ini erat kaitannya dengan munculnya konsep coorporate social responsibility (CSR). Secara singkat CSR merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dari stakeholder. Stakeholder yang dimaksudkan disini diantaranya adalah karyawan, pembeli, pemilik, pemasok, dan komunitas lokal, organisasi nirlaba, aktivis, pemerintah, dan media, yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yakni kemakmuran. Dengan demikian, perusahaan sebagai entitas bisnis hendaknya peduli terhadap akibat sosial dan berusaha mengatasi kerugian lingkungan sebagai akibat dari aktivitas usaha perusahaan.
Kita ketahui bersama Prinsip perusahaan yang profit  ini ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Sehingga  seringkali menyebabkan tindakan yang menjurus menghalalkan segala cara. Polusi air dan udara, kebisingan suara, keracunan, radiasi, kemacetan lalu lintas, produksi makanan haram, serta limbah kimia yang bisa mengancam masyarakat dan ekosistem adalah suatu contoh bentuk dampak negatif (negative externalities) yang dapat timbul dari keberadaan dan aktivitas perusahaan. Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sering kali mengakibatkan perusakan lingkungan, berupa pencemaran air, penggundulan hutan, pencemaran  udara, dan lainnya. Perusahaan menganggap semua yang dilakukannya sebagai eksternalitas dari usaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan. Tapi tindakan perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi tersebut, di satu sisi hanya akan meningkatkan produktivitas perusahaan, tetapi di sisi lain juga mungkin akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain karyawan, konsumen, dan tentu saja  masyarakat.
Keberadaan perusahaan tidak terlepas dari kepentingan berbagai pihak. Investor berkepentingan terhadap sumber  daya yang diinvestasikan di perusahaan. Kreditor berkepentingan terhadap pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Pemerintah berkepentingan terhadap kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku agar kepentingan masyarakat secara umum tidak terganggu (Satyo, 2005). Namun, yang tak kalah pentingnya adalah pihak-pihak yang selama ini kurang mendapat perhatian, yaitu karyawan, pemasok, pelanggan, dan masyarakat di sekitar perusahaan. Karyawan perlu mendapatkan penghasilan dan jaminan sosial yang layak. Bila memungkinkan, karyawan memerlukan pendidikan dan pelatihan teknis untuk meningkatkan keahlian sehingga dapat meningkatkan karier di perusahaan. Pemasok berkepentingan terhadap pelunasan utang dagang. Pelanggan berkepentingan terhadap kualitas produk perusahaan. Terakhir, masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan berkepentingan terhadap dampak sosial dan lingkungan yang berasal dari aktivitas perusahaan. Dengan berbagai dampak dari keberadaan perusahaan ditengah-tengah masyarakat, menyadarkan masyarakat di dunia bahwa sumber daya alam adalah terbatas dan oleh karenanya pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam menjalankan usahanya perlu menggunakan sumberdaya dengan efisien dan memastikan bahwa sumber daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi di masa datang.

2.6         Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial dan Lingkungan
Akuntansi pertanggungjawaban sosial merupakan penerapan akuntansi dalam ilmu sosial, ini menyangkut pengaturan, pengukuran, analisis dan pengungkapan pengaruh kegiatan ekonomi dan sosial dari kegiatan yang bersifat mikro dan makro pada kegiatan pemerintah maupun perusahaan.  Kegiatan pada tingkat makro bertujuan untuk mengukur dan mengungkapkan kegiatan ekonomi dan sosial suatu negara, mencakup akuntansi sosial dan pelaporan akuntansi dalam pembangunan ekonomi. Pada tingkat mikro bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap lingkungan yang mencakup, financial, managerial social accounting dan social auditing.
Akuntansi pertanggungjawaban sosial juga  merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis.
Adapun Tujuan akuntansi pertanggungjawaban sosial yaitu :
a.    Untuk meningkatkan citra perusahaan dan untuk mempertahankan biasanya secara implisit, asumsi bahwa perilaku perusahaan secara fundamental adalah baik.
b.    Untuk membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kotrak sosial diantara organnisasi dan masyarakat. Keberadaan kontrak sosial ini menuntut dibebaskannya akuntabilitas sosial.
c.    Sebagai perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya memberikan informasi kepada investor.

2.7         Teori Yang Mendukung Laporan Pertanggungjawaban Sosial Dan Lingkungan
Teori-teori yang Mendukung Laporan Pertanggungjawaban Sosial dan Lingkungan yaitu Legitimacy theory  dan Stakeholder  Theory. Legitimacy theory  menjelaskan bahwa organisasi secara kontinu akan beroperasi sesuai dengan batas-batas dan nilai yang diterima oleh masyarakat di sekitar perusahaan dalam usaha untuk mendapatkan legitimasi. Proses untuk mendapatkan legitimasi berkaitan dengan kontrak sosial antara yang dibuat oleh perusahaan dengan berbagai pihak dalam masyarakat. Kinerja  perusahaan tidak hanya diukur dengan laba yang dihasilkan oleh perusahaan, tetapi ukuran kinerja lainnya yang berkaitan dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Untuk mendapatkan legitimasi perusahaan harus memiliki insentif untuk melakukan kegiatan sosial yang diharapkan oleh masyarakat di sekitar kegiatan operasional perusahaan. Sedangkan Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik seperti mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan.
Dengan menggunakan definisi diatas, pemerintah bisa saja dikatakan sebagai stakeholder bagi perusahaan karena pemerintah mempunyai kepentingan atas aktivitas perusahaan dan keberadaan perusahaan sebagai salah satu elemen sistem sosial dalam sebuah negara oleh karena itu, perusahaan tidak bisa mengabaikan eksistensi pemerintah dalam melakukan operasinya. Hal tersebut berlaku sama bagi komunitas lokal, karyawan, pemasok, pelanggan, investor dan kreditor yang masing-masing elemen stakeholder tersebut memiliki kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan sehingga masing-masing elemen tersebut membuat sebuah hubungan fungsional dengan perusahaan untuk bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing. Stakeholder sendiri memiliki bermacam-macam definisi yang kesemuanya memiliki kesamaan. Hanya saja, fokus dan penekanan yang berbeda memberikan ruang perdebatan mengenai apa itu stakeholder. Definisi stakeholder dalam beberapa literatur adalah sebagai berikut,Segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang diangkat, semua yang melandasi suatu pihak menjadi stakeholder adalah ada atau tidaknya kepentingan darinya yang terkait. Stakeholder bermacam-macam,tergantung situasi dan kondisi.
Menurut Gaffikin (2008 : 201), ide pertanggungjawaban sosial perusahaan bisnis sudah ada pada zaman Yunani Klasik. Perusahaan bisnis diharapkan untuk menerapkan standar yang tinggi mengenai moralitas dalam perdagangan. Pada zaman pertengahan di Eropa, Gereja mewajibkan industri dan perusahaan bisnis berperilaku sesuai dengan kode moral Gereja. Isu ini kemudian menjadi hangat di Amerika Serikat pada tahun 1960. Pada tahun 2000 perhatian serupa diberikan oleh  Global Reporting Initiative  (GRI), sebagai bagian dari program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memberikan pedoman SR yang meliputi tiga elemen, yaitu ekonomi, lingkungan,  dan sosial yang selanjutnya direvisi pada tahun 2002 (Satyo, 2005).
Hal lain yang memicu timbulnya pemikiran akuntansi pertanggungjawaban sosial ini adalah perubahan pandangan manajemen dalam pengelolaan perusahaan. Pandangan manajemen klasik mengungkapkan bahwa ada satu dan hanya ada satu tanggungjawab perusahaan, yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya guna menambah nilai suatu perusahaan. Sebaliknya, pandangan manajemen modern mengungkapkan bahwa kebijakan perusahaan dibuat dengan mempertimbangkan tanggung jawab sosial mengingat ketergantungan perusahaan pada lingkungannya yang turut mempunyai andil dalam pencapaian tujuan perusahaan.Tanggung jawab sosial ini erat kaitannya dengan munculnya konsep coorporate social responsibility (CSR). Dengan demikian, perusahaan sebagai entitas bisnis hendaknya peduli terhadap akibat sosial dan berusaha mengatasi kerugian lingkungan sebagai akibat dari aktivitas usaha perusahaan. Izin sosial dan legitimasi dari masyarakat menjadi bagian kecil dari usaha untuk meningkatkan kualitas hidup tersebut. Perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham atau shareholder , tapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban di atas.

2.8          Pengukuran Akuntansi Sosial
Dalam pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan lingkungan sosialnya terdapat dua dampak yang timbul yaitu dampak positif atau yang disebut juga dengan manfaat social (Social benefit) dan dampak negatif yang disebut dengan pengorbanan sosial (Social Cost). Masalah yang timbul adalah bagaimana mengukur kedua dampak tersebut. Menurut Harahap (1993), masalah pengukuran akuntansi sosial memang rumit, karena jika dibandingkan dengan transaksi biasa yang langsung dapat dicatat dan mempengaruhi posisi keuangan, maka dalam akuntansi sosial terlebih dahulu harus diukur dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Lebih jauh Harahap (1993) menguraikan beberapa metode yang biasa dipakai dalam pengukuran Akuntansi sosial yaitu;
a.         Menggunakan penilaian dengan menghitung Opportunity cost approach
b.        Menggunakan daftar kuesioner
c.         Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk barangperorangan dalam menghitung kerugian masyarakat
d.        Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga
Ansry Zulfikar (1987) dalam Achmad Sonhadji (1989) memberikan beberapa teknik pengukuran yang dapat dipakai, antara lain ;
a.         Penilaian pengganti, yaitu jika nilai dari sesuatu tidak dapat langsung ditentukan, maka dapat mengetimasikannya dengan nilai pengganti.
b.        Teknik survey, yaitu mencakup cara-cara untuk mendapatkan informasi dari kelompok masyarakat tentang pengukuran aktifitas sosial perusahaan.
c.         Biaya perbaikan dan pencegahan, yaitu biaya-biaya perbaikan yang dikeluarkan oleh perusahaan sebuhubungan dengan lingkungan sosialnya.
d.        Penilaian dari penilai independen, yaitu memberikan suatu wewnang kepada pihak luar untuk mengukur aktifitas sosial perusahaan
e.         Putusan pengadilan, yaitu dengan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum

2.9         Pelaporan, Pengungkapan (Disclosure) Akuntansi Sosial
Menurut Belkoui (1985) yang dikutip oleh Harahap (1993), pelaporan dalam akuntansi sosial, berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaporan ini menurut Belkoui (1980) dalam Sawardjono (1991) didasari relevan atau tidaknya informasi tersebut, dan relevansi ini tergantung pada para pemakai informasi. Menurut Sawardjono (1991), peningkatan kebutuhan informasi ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang telah melaporkan tanggungjawab sosialnya. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Inggeris, Australia dan Jepang, pelaporan ini sudah merupakan hal yang lazim. Estes (1976) dalam Achmad Sondhaji (1989) menggambarkan Praktik pelaporan akuntansi sosial yang terdiri dari :
a.    Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang tidak disertai dengan data kuantitaif, baik satuan uang maupun satuan yang lainnya
b.    Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan disertai dengan data kuantitatif
c.    Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga menyusun laporannya dalam bentuk neraca.
Selanjutnya dengan semakin berkembangnya pasar modal, perusahaan-perusahaan melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk memberikan informasi kepada pemilik modal, calon investor dan pihak-pihak luar (stakeholders) lainnya yang juga berkepentingan. Praktik pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan tahunan perusahaan telah dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Singapura dan Malaysia. Keadaan ini turut mendorong perusahaan–perusahaan untuk mengungkapkan secara sukarela untuk setiap periode mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat menunjukkan kepada kepada pihak–pihak yang berkepentingan terhadap laporan tahunan perusahaan yang dapat menjelaskan kepedulian dan kepekaan sosial suatu entitas bisnis.
Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini FASB telah banyak merekomendasikan secara lebih spesifik tentang standar pelaporan externalities. Davidson (1993) memberikan contoh FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian dampak sosial khususnya mengenai dampak lingkungan. Davidson (1993) seorang direktur yang menangani urusan lingkungan di Ernst dan Young consulting Washington, mengatakan bahwa saat ini SEC (stock exchange commission) telah menerapkan review bagi perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan dampak lingkungan dalam laporan tahunan mereka.
Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika Serikat sampai saat ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure) dan bukan merupakan suatu kewajiban (Mandatory disclosure), tetapi kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan mengungkapkan aktifitas sosial tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah suatu perusahaan dalam menjalankan fungsi – fungsi sosialnya.
Penelitian–penelitian yang dilakukan diluar negeri menunjukkan bahwa di Inggris Ince dan Davut (1997), Tsang dan Eric WK (1998) di Singapura, Hackson dan Milne (1996) di Selandia Baru, Adam et.al (1997) di enam negara Eropa (Prancis,Jerman,Swiss,Inggris,dan Belanda) dan penelitian Andrew et.al (1989) di Malaysia dan Singapura membuktikan pengungkapan sosial perusahaan sudah menjadi hal yang lazim dilaksanakan dengan penekanan bahwa perusahaan besar lebih banyak mengungkap informasi sosialnya dibandingkan dengan perusahaan kecil.
            Deegan dan Gordon (1991) dalam Heny dan Murtanto (2001) mengemukakan bahwa sebagian besar pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan masih bersifat kualitatif, dan kecenderungan perusahaan mengeungkapkan informasi positif daripada informasi negatif.

2.10     Akuntansi untuk Manfaat dan Biaya Sosial
Dasar bagi kebanyakan teori akuntansi sosial datang dari analisis yang dilakukan oleh A.C. Pigou terhadap biaya dan manfaat sosial. A.C.Pigou adalah seorang ekonom neo-klasik yang memperkenalkan pemikiran mengenai biaya dan manfaat sosial kedalam ekonomi mikro pada tahun 1920. Titik pentingnya adalah bahwa optimalitas-Pareto (titik dalam ekonomi kesejahteraan dimana adalah mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang tanpa mengurangi kesejahteraan dari orang lain) tidak dapat dicapai selama produk sosial neto dan produk pribadi neto tidak serata.
Suatu analisis yang serupa dapat dibuat dalam hal biaya. Bagi Pigou, biaya sosial terdiri atas seluruh biaya untuk menghasilkan suatu produk, tanpa mempedulikan siapa yang membayarnya. Biaya yang di bayarkan oleh produsen disebut sebagai biaya pribadi. Selisih antara biaya sosial dan biaya pribadi (disebut sebagai “biaya sosial yang tidak dikompensasikan”) dan disebabkan oleh banyak faktor.
Menurut Pigou, optimalitas-Pareto hanya dapat dicapai jika manfaat sosial marginal sama dengan biaya sosial marginal. Perbedaan antara Pigou dengan model ekonomi tradisional- dimana pendapatan marginal setara dengan biaya marginal- berasal dari perbedaan antara manfaat sosial dan pribadi dengan biaya sosial dan pribadi.
Dengan demikian, ketika akuntan mengukur manfaat pribadi (pendapatan) dan biaya pribadi (beban) serta mengabaikan yang lainnya, mereka bersikap konsisten dengan teori ekonomi tradisional. Gerakan kearah akuntansi sosial, sebagian besar terdiri dari usaha-usaha untuk memasukkan biaya sosial dan biaya sosial yang tidak terbagi kedalam model akuntansi.
Berdasarkan analisis Pigou dan gagasan mengenai suatu “kontrak sosial”, K.V.Ramanathan (1976) mengembangkan suatu kerangka kerja teoritis untuk akuntansi atas biaya dan manfaat sosial. Terdapat dua masalah utama dengan pendekatan Ramanathan. Pertama, untuk menentukan kontribusi neto kepada masyarakat, beberapa jenis system nilai harus ditentukan. Bagaimana entitas tersebut menentukan apa yang merupakan kontribusi atau apa yang merupakan kerugian bagi masyarakat?. Beberapa kerugian seperti polusi secara universal dibenci dan memasukkannya dalam suatu laporan akuntansi dan dibenarkan dengan relative mudah. Masalah utama kedua berkaitan dengan pengukuran. Adalah teramat sulit untuk menguantifikasi jumlah pos yang akan dimasukkan dalam laporan kontribusi neto kepada masyarakat.
Salah satu alasan utama dari lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah kesulitan dalam mengukur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga langkah, yaitu :
1)        Menentukan apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial.
2)        Mencoba untuk menguantifikasi seluruh pos yang relevan.
3)        Menempatkan nilai moneter pada jumlah akhir.
Cara lain untuk mengidentifikasi asal dari biaya dan manfaat sosial adalah dengan memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan individual guna mengidentifikassi bagaimana kerugian dan kontribusi serta menentukan bagaimana hal itu terjadi. Jika satu bagian dari proses produksidan distribusi diperiksa – mungkin ditemukan produk sampingan yang negative diciptakan bersama-sama dengan produk yang berguna.
Ketika aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan dari kerugian serta kontribusi tertentu diidentifikasikan, maka dampak pada manusia dapat dihitung. Untuk mengukur suatu kerugian dibutuhkan informasi mengenai variable-variabel utama, yaitu waktu dan dampak.
1)      Waktu
Beberapa peristiwa yang menghasilkan biaya sosial membutuhkan waktu beberapa tahun untuk menimbulkan suatu akibat. Dalam hal pengukuran, adalah penting untuk menentukan lamanya waktu tersebut. dampak jangka panjang sebaiknya diberikan bobot yang berbeda dengan dampak jangka pendek.
2)      Dampak
Orang-orang dapat dipengaruhi secara ekonomi, fisik, psikologis, dan sosial oleh berbagai kerugian. Untuk mengukur biaya sosial tersebut adalah perlu untuk mengidentifikasikan kerugian-kerugian tersebut dan menguantifikasikannya.
Biaya-biaya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kerugian ekonomi, fisik, psikologis, atau sosial.
1)      Kerugian ekonomi
Biaya-biaya ini meliputi tagihan pengobatan dan rumah sakit yang tidak dikompensasi, hilangnya produktivitas, dan hilangnya pendapatan yang diderita oleh pekerja. Jelaslah, perhitungan ganda atas hilangnya pendapatan dan produktivitas harus duhindari.
2)      Kerugian fisik
Menghitung nilai dari kehidupan atau kesehatan manusia adalah hal yang sulit untuk dilakukan, tetapi seringkali dicoba dalam analisis biaya-manfaat yang tradisional.
3)      Kerugian psikologis
Kerugian-kerugian ini juga sulit untuk dikuantifikasi dan harus didiskontokan pada tingkat bunga yang sesuai.
4)      Kerugian sosial
Dalam keluarga pekerja, perubahan peran dapat terjadi sebagai akibat dari penyakit tersebut. keluarga tersebut dapat menjadi begitu trauma sehingga terjadi perpecahan. Nilai sekarang dari seluruh dampak ini bagaimanapun juga harus dihitung.

2.11     Pelaporan Kinerja Sosial
Kerangka kerja akuntansi sosial belum secara penuh dikembangkan dan terdapat masalah pengukuran yang serius mengenai biaya dan manfaat. Meskipun demikian, sejumlah penulis telah menyarankan agar perusahaan melaporkan kinerja akuntansi sosialnya baik secara internal maupun secara eksternal. Pendekatan-pendekatan tersebut meliputi :
1.      Audit Sosial
Audit sosial mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang reguler. Audit sosial adalah serupa dengan audit keuangan dalam hal bahwa audit sosial mencoba untuk secara independen menganalisis suatu perusahaan dan menilai kinerja. Setelah audit sosial diselesaikan, perusahaan harus memutuskan apakah akan menginformasikannya kepublik.
2.      Laporan-laporan Sosial
David Linowes telah mengembangkan laporan operasi sosio-ekonomi untuk digunakan sebagai dasar untuk melaporkan informasi akuntansi sosial. Linowes membagi laporannya kedalam tiga kategori :
1)      Hubungan dengan manusia
2)      Hubungan dengan lingkungan
3)      Hubungan dengan produk
3.      Pengungkapan dalam Laporan Tahunan
Ditemukan bahwa secara umum, jumlah perusahaan yng mengungkapkan informasi sosial dan jumlah pengungkapan meningkat dengan stabil. Sekitar 90 persen dari perusahaan yang termasuk dalam laporan tahunan bersifat sukarela dan selektif, dapat diargumentasikan bahwa informasi tersebut memiliki nilai yang dipertanyakan dan seseorang tidak dapat menilai kinerja sosial dari perusahaan tersebut berdasarkan laporan tahunannya.
4.      Perkembangan luar negeri
Bentuk pelaporan model Eropa yang telah digunakan oleh sejumlah perusahaan adalah bentuk yang dikembangkan serta digunakan oleh DeutscheShell (perusahaan minyak Shell di Jerman). Serupa dengan laporan dari perusahaan-perusahaan di Prancis, laporan Deutsche Shell menekankan pada hubungan perusahaan dengan karyawannya. Akan tetapi, laporan tersebut juga memberikan informasi mengenai sejumlah bidang lainnya yang berurusan dengan tanggung jawab sosial perusahaan.



























BAB III
PEMBAHASAN

3.1         Aspek Perilaku Dalam Akuntansi Sosial Terhadap Perusahaan Baik Karyawan, Masyarakat  Dan Lingkungan
Salah satu cara yang ditempuh perusahaan dalam mengkomunikasikan infomasi pada masyarakat tentang aktivitas tanggungjawab sosial perusahaan (TSP) atau corporate social responsibility (CSR) adalah pengungkapan TSP pada laporan tahunannya. Dengan begitu masyarakat diharapkan dapat mengetahui dan menilai TSP.
Di beberapa negara maju, pengungkapan TSP menjadi isu sensitif, karena dapat mempengaruhi legitimasi perusahaan, tindakan politik yang tidak menguntungkan perusahaan dan harga saham perusahaan. Terkait hal tersebut, ketidakjujuran dapat saja terjadi dalam pengungkapan TSP. Keragamanan pengungkapan TSP inipun telah memunculkan berbagai pertanyaan, misalnya apakah pengungkapan TSP merupakan aktivitas reaktif atau proaktif dari perusahaan? Dari sudut pandang reaktif pengungkapan TSP diekspetasi terjadi ketika perusahaan mendapat ancaman legitimasi. Sebaliknya, dari sudut pandang proaktif pengungkapan TSP diekspektasi terjadi ketika manajer berupaya meminimumkan laba dilaporkan untuk mengurangi tindakan politik yang tidak menguntungkan perusahaan. Pengungkapan TSP di Indonesia dipengaruhi oleh niat manajer. Niat manajer ini dipengaruhi tiga faktor, yaitu sikap manajer terhadap pengungkapan TSP, norma subyektif manajer atas pengungkapan TSP, dan kontrol perilaku persepsian manajer atas pengungkapan TSP. Kontrol perilaku persepsian atas pengungkapan TSP tidak berpengaruh terhadap pengungkapan TSP. Kontrol perilaku persepsian atas pengungkapan TSP hanya dapat mempengaruhi pengungkapan TSP setelah melalui niat untuk pengungkapan TSP.
   Pada sektor industri Aneka Industri, Industri Barang Konsumsi, Industri dasar dan Kimia, Pertambangan dan Pertanian, pengungkapan tidak berhubungan dengan kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang waktu satu tahun setelah pengungkapan TSP. Artinya pengungkapan TSP pada kelima sektor industri tersebut tidak mengandung nilai bagi pasar dan bagi perusahaan dalam waktu satu tahun setelah pengungkapan TSP. Penyediaan informasi oleh perusahaan kepada publik tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor observable yang berkaitan dengan karakteristik perusahaan, tetapi juga faktor unobservable yang melekat pada diri manajer.
            Tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) semakin memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Owen (2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan perusahaan-perusahaan lebih memberikan perhatian yang besar terhadap pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen risiko dan keunggulan kompetitif nampak menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan informasi sosial. Dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Finch (2005) menunjukkan bahwa motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial lebih banyak dipengaruhi oleh usaha untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder mengenai kinerja manajemen dalam mencapai manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang.
Standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial terutama informasi mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, akibatnya yang terjadi di dalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Perusahaan akan mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila manfaat yang akan diperoleh dengan pengungkapan informasi tersebut lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mengungkapkannya maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut. Belkaoui (1989) menemukan hasil (1) pengungkapan sosial mempunyai hubungan yang positif dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya dalam laporan sosial, (2) ada hubungan positif antara pengungkapan sosial dengan visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan lebih banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil, (3) ada hubungan negatif antara pengungkapan sosial dengan tingkat financial leverage, hal ini berarti semakin tinggi rasio utang/modal semakin rendah pengungkapan sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya- biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).
            Eipstein & Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual tertarik terhadap informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi tersebut berupa keamanan dan kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain itu mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan dengan karyawan dan masyarakat. Hackston & Milne (1996) menyajikan bukti empiris mengenai praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di New Zealand serta menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik perusahaan dengan pengungkapan sosial dan lingkungan. Ukuran perusahaan dan industri berhubungan dengan jumlah pengungkapan sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi antara ukuran perusahaan dan industri menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih kuat antara perusahaan dalam industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang low-profile.
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori akuntansi tradisional, perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang maksimum kepada masyarakat sesuai konsep trickle down kapitalisme. Namun seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin menyadari adanya dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk mencapai laba yang maksimal, yang semakin besar dan semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, masyarakat pun menuntut agar perusahaan senantiasa memperhatikan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya. Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh para karyawan dan buruh dalam rangka menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lainnya yang dirasakan kurang mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh pihak masyarakat, baik masyarakat sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan sekitar pabrik. Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes terhadap hal-hal yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan protes yang dilakukan masyarakat di sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah pabrik.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan pelaporan akuntansi sosial, dimana diinformasikan seberapa besar manfaat sosial netto yang diberikan perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto tersebut, diperoleh dari selisih antara kontribusi suatu perusahaan kepada masyarakat (manfaat sosial) dengan kerugian yang ditimbulkan (biaya sosial). Namun dalam menentukan manfaat sosial netto tersebut tidaklah semudah menyajikan laporan keuangan biasa.  Sebab Menurut Grayson dan Hodges ( 2004), bahwa perusahaan tidak beroperasi di dalam ruang kosong, melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, situasi politik, pembangunan sosial dan ekonomi, juga risiko-risiko yang mungkin timbul. Jonker dan Witte (2004) menyebutkan bahwa Organisasi sekarang ini tidak hanya bertanggung jawab bagaimana menghasilkan kualitas produk dan jasa yang baik, tetapi juga harus dapat memenuhi kebutuhan para external stakeholders sebagai suatu cara untuk mencegah timbulnya dampak negatif sosial.
Selain itu juga perlu dilakukan pengungkapan kinerja sosial pada laporan tahunan perusahaan seringkali dilakukan secara sukarela oleh perusahaan. Menurut Henderson dan Peirson, adapun alasan-alasan perusahaan mengungkapan kinerja sosial secara sukalera (Henny dan Murtanto, 2001: 27) antara lain:
1)                 Internal decision making: manajemen membutuhkan informasi untuk menentukan efektivitas dari informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. Data harus tersedia agar biaya dari pengungkapan tersebut dapat diperbandingkan dengan manfaatnya bagi perusahaan. Walaupun hal ini sulit diidentifikasi dan diukur namun analisis secara sederhana lebih baik daripada tidak sama sekali.
2)                 Product differentiation: manajer dari perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat.
3)                 Enlightened self interest: perusahaan melakukan pengungkapan untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder yang terdiri dari stockholder, kreditor, karyawan, pemasok, pelanggan, pemerintah dan masyarakat karena dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan.
            Menurut Mathews dan Perera (Rusmanto, 2004: 83) terdapat beberapa alasan perusahaan mencantumkan kegiatan sosial mereka dalam laporan keuangan, antara lain ialah Mencoba mempengaruhi pasar modal, Sebagai wujud dari kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat, dan Pelaksanaan legistimasi organisasi.
            Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik secara internal maupun eksternal, dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan, yaitu:
1)      Audit Sosial
Audit Sosial yaitu mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang reguler. Mulanya, manajer perusahaan diminta membuat daftar aktivitas dengan konsekuensi sosial. Setelah daftar tersebut dihasilkan, auditor sosial kemudian menilai dan mengukur dampak-dampak dari kegiatan sosial perusahaan. Audit sosial dilaksanakan secara rutin oleh kelompok konsultan internal maupun eksternal, sebagai bagian dari pemeriksaan internal biasa, sehingga manajer mengetahui konsekuensi sosial dari tindakan mereka.
2)      Laporan-Laporan Sosial. 
Laporan eksternal terpisah yang menggambarkan hubungan perusahaan dengan komunitasnya, dikembangkan salah satunya oleh David Linowes. Ia membagi laporannya dalam tiga kategori: hubungan dengan manusia, hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan produk. Pada setiap kategori, ia membuat daftar mengenai konstribusi sukarela perusahaan dan kemudian mengurangkannya dengan kerugian yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan itu. Linowes memoneterisasi segala sesuatunya dalam laporan tersebut, sampai pada saldo akhir, yang disebutnya sebagai tindakan sosio-ekonomi netto untuk tahun tersebut. Dalam laporan Linowes, seluruh kontribusi dan kerugian harus dihitung secara moneter. Selain Linowes, Ralph Estes juga mengembangkan suatu model pelaporan mengenai manfaat dan biaya sosial. Ia menghitung manfaat sosial sebagai seluruh kontribusi kepada masyarakat yang berasal dari operasi perusahaan (misalnya, lapangan kerja yang disediakan, sumbangan, pajak, perbaikan lingkungan). Sedangkan biaya sosial, meliputi seluruh biaya operasi perusahaan (bahan baku yang dibeli, utang kerusakan lingkungan, luka-luka dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan). Manfaat sosial dikurangkan dengan biaya social untuk memperoleh manfaat atau biaya netto.
3)      Pengungkapan dalam laporan tahunan.
Beberapa perusahaan menerbitkan laporan tahunan kepada pemegang saham disertai beberapa informasi sosial yang dilakukan. Namun, melalui informasi yang dicantumkan dalam laporan tahunan tersebut, belum dapat dinilai kinerja sosial perusahaan secara komprehensif, karena kebanyakan informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan bersifat sukarela dan selektif. Dalam artian, bisa jadi perusahaan hanya menyoroti kontribusi positifnya dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya.          



BAB IV
PENUTUP

4.1.        Kesimpulan
Bahwa aspek perilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat  dan lingkungan sangat perlu diterapkan karena perusahaan tidak hanya berorientasi laba saja melainkan memperhatikan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya. Dimana hal yang perlu  dilakukan adalah pelaporan akuntansi sosial dan pengungkapan kinerja sosial pada laporan tahunan perusahaan. Sehingga perusahaan tidak hanya menyoroti kontribusi positifnya tetapi memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya.

4.2.       Saran
Sebaiknya didalam pengelolaan perusahaan tidak hanya memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) tetapi perusahaan haruslah memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Sebab Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi.





           







1 komentar: