BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi
entitas bisnis yang mengalami perubahan dari pandangan manajemen klasik ke
manajemen modern khususnya di beberapa negara industri seperti Amerika dan
Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab perusahaan.
Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya
beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba
maksimum telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi
perusahaan dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab
sosial perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan,
kebutuhan para pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat
umum, karena menurut pandangan Manajemen modern perusahaan dalam menjalankan
operasionalnya harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber
ekonomi yang digunakan oleh perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial
dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu perusahaan sebagai organisasi
bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh lingkungan sosialnya,
sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi dan
berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep manajemen
tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab
sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988)
dalam Azhar Maksum, (1991), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna
memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut
bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari
luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan informasi kepada beberapa
kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian
diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan
akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan
terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan.
Beberapa penulis seperti Estes (1973);
Bowman dan Mason (1976); K.Most (1977); Carrol AB (1984); Henderson (1984) dan
Chua (1990) dalam Sawardjono (1991), menggambarkan beberapa contoh konkrit yang
dapat dianggap sebagai externality,
antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi
tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan
produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang,
pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar
industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu dikalangan para akuntan
sehubungan externalily adalah
mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial
ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk
menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan
lingkungan sosialnya tersebut.
Harahap (1988;1993; 2001) mengemukakan bahwa
persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggungjawab sosial atau tidak,
sampai saat ini masih terus merupakan perdebatan ilmiah dalam sistem ekonomi
kapitalis. Lebih jauh Harahap (2002) menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan
bentuk dari penyadaran kapitalis terhadap tanggung jawab sosial perusahaan
melalui penyajian informasi akuntansi. Pro dan kontra tersebut tentunya dapat
dipahami karena kelompok yang mendukung maupun yang tidak mendukung punya
kepentingan dan argumentasinya masing-masing.
Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi
sosial memang bukanlah hal yang baru, para pakar akuntansi di Indonesia juga
telah melakukan analisis dan studi tentang kemungkinan penerapan akuntansi
sosial di Indonesia (Harahap, 1988); lihat juga Bambang Sudibyo (1988);
Hadibroto (1988) dalam Arief Suadi (1988), hanya saja akuntansi sosial menjadi
kurang popular.
Terdapat dua hal yang menjadi kendala
sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia, yaitu (1) lemahnya tekanan
sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan, dan (2) rendahnya
kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung jawaban
sosial. Menurut Penulis, perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat
saat ini telah mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah
kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis
kembali penerapan akuntansi sosial dalam situasi dan kondisi perekonomian
Indonesia sekarang ini.
Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan,
akuntansi berfungsi untuk memberikan informasi untuk
pengambilan keputusan dan pertangungjawaban. Selama ini, laporan
keuangan hanya difokuskan kepada kepentingan investor dan kreditor
sebagai pemakai utama laporan keuangan. Hal ini tertuang mulai dari Standar
Financial Accounting Concepts (SFAC) No.1. Selama ini perusahaan hanya
menyampaikan informasi mengenai hasil operasi keuangan perusahaan kepada
pemakai, tetapi mengabaikan eksternalitas dari operasi yang dilakukannya,
misalnya polusi udara, pencemaran air, pemutusan hubungan kerja, dan
lainnya. Akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan berita di surat kabar,
televisi mengenai dampak operasi perusahaan yang tidak memperhatikan
lingkungan di mana mereka beroperasi.
Contoh-contoh
Permasalahan Sosial pada Dunia Bisnis di Indonesia
No.
|
Contoh Kasus
|
Lokasi
|
Permasalahan Sosial
|
|
1.
|
PT. Inti Indorayon Utama
|
Porsea, Prov. Sumatera Utara
|
Dihentikan operasinya karena masalah lingkungan dan
masalah kemasyaratan di sekitar industri tersebut.
|
|
2.
|
PT. Exxon Mobil
|
Lhokseumawe, Aceh Utara, Prov. DI Aceh.
|
Menghentikan kegiatan produksi karena faktor
stabilitas ekonomi.
|
|
3.
|
PT. Ajinamoto Indonesia
|
Prov. DKI Jakarta
|
Penarikan distribusi dan penghentian aktivitas
produksi karena masalah sertifikasi halal oleh MUI.
|
|
4.
|
Beberapa perusahaan kertas di Riau.
|
Prov. Riau
|
Mendapatkan protes dari masyarakat setempat
sehubungan dengan masalah limbah industri dan pencemaran lingkungan.
|
|
5.
|
PT. Maspion Indonesia
|
Sidoarjo, Surabaya, Prov. Jawa Timur
|
Permasalahan demonstrasi buruh dan masalah
kesejahteraan karyawan.
|
|
6.
|
PT. Telkom Indonesia
|
Divre IV, Prov. Jawa Tengah dan DIY
|
Serikat karyawan PT. Telkom menolak penjualan Divre
IV kepada PT. Indosat.
|
|
7.
|
PT. BCA
|
Prov. DKI Jakarta
|
Serikat pekerja menolak divestasi saham BCA.
|
|
8.
|
PT. Kereta Api Indonesia
|
Prov. DKI Jakarta
|
Serikat pekerja menolak kembalinya dewan direksi
lama karena dianggap bertanggung jawab atas beberapa kasus kecelakaan kereta
api yang terjadi di Indonesia.
|
|
9.
|
Bank Internasional Indonesia.
|
Prov. DKI Jakarta
|
Tuntunan karyawan atas peningkatan gaji, upah, dan
kesejahteraan pekerja.
|
|
10.
|
PT. Gudang Garam
|
Kediri, Prov. Jawa Timur
|
Mogok kerja massal karena
karyawan menuntut perbaikan gaji dan kesejahteraan pekerja.
|
|
Sumber
: Lubis I.A, 2010 Dalam Kholis, 2002, “Masalah Sosial dalam Akuntansi Bisnis
di Indonesia”, Media Riset Akuntansi, Auditing, dan Informasi, Vol.2, No.3,
Desember.
Hal ini akan mengancam kehidupan masyarakat
pada masa mendatang. Maka seharusnya bidang akuntansi memperhatikan hal
seperti ini dan berperan dalam mengatasi masalah sosial dan lingkungan sebagai
bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap pemangku kepentingan.
Berangkat dari
berkembangnya tuntutan dan kesadaran tanggungjawab sosial perusahaan, pro dan
kontra terhadap konsep akuntansi sosial, dan pengembangan akuntansi sosial di
Indonesia, makalah ini akan membahas mengenai perlunya memahami aspek perilaku
dalam akuntansi sosial dan hal-hal lain yang berkaitan seperti laporan pertanggungjawaban
sosial dan lingkungan, bentuk laporan pertanggungjawaban sosial dan
lingkungan, dan penerapannya di Indonesia. Aspek prilaku dalam akuntansi
sosial dan hal-hal yang berkaitan tersebut tidak hanya bermanfaat bagi stakeholders,
tetapi juga bagi perusahaan. Karena semakin pentingnya laporan ini maka
selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selama ini belum banyak
pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan yang dilakukan hanya
bersifat persuasif.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah Aspek perilaku dalam
akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan
lingkungan?’’
1.3
Tujuan
Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini
bertujuan untuk :
Memahami aspek perilaku dalam akuntansi
sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat dan lingkungan.
1.4
Manfaat
Penulisan Makalah
Hasil penulisan makalah
ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : Sebagai informasi,
masukan dan bahan pertimbangan kepada
semua yang berkepentingan baik para mahasiswa, pemilik perusahaaan dan seorang
akuntan bahwa aspek prilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan,
masyarakat dan lingkungan.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Konsep Aspek Keperilakuan dari
Psikologi dan Psikologi Sosial
A.
Sikap
Sikap
adalah suatu hal yang mempelajari mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang
menguntungkan maupun yang kurang menguntungkan, tujuan manusia, objek, gagasan,
atau situasi. Istilah objek dalam sikap digunakan untuk memasukkan semua objek
yang mengarah pada reaksi seseorang.
Ketiga komponen sikap: pengertian (cognition), pengaruh (affect), danperilaku (behavior). Susunan sikap yang dipandang
berdasarkan ketiga komponen tersebut membantu untuk memahami kerumitan sikap
dan hubungan potensial antara sikap dan perilaku. Sikap disusun oleh komponen teori,
emosional, dan perilaku. Komponen teori terdiri atas gagasan, persepsi, dan
kepercayaan seseorang mengenai penolakan sikap. Komponen emosional atau afektif
mengacu pada perasaan seseorang yang mengarah pada objek sikap. Komponen
perilaku mengacu pada bagaimana satu kekuatan bereaksi terhadap objek/sikap.
Sikap
memiliki empat fungsi utama: pemahaman,kebutuhan akan kepuasan, defensif ego, dan ungkapan nilai.
Pemahaman atau pengetahuan berfungsi untuk membantu seseorang dalam memberikan
maksud atau memahami situasi atau peristiwa baru. Sikap juga melayani suatu hal
yang bermanfaat atau fungsi kebutuhan yang memuaskan. Sikap juga melayani
fungsi defensif ego dengan melakukan pengembangan guna melindungi manusia dari
pengetahuan yang berlandaskan kebenaran mengenai dasar manusia itu sendiri atau
dunianya. Sikap juga melayani fungsi nilai ekspresi.
Orang-orang
mengusahakan konsistensi antara sikap-sikapnya serta antara sikap dan
perilakunya. Ini berarti bahwa individu-individu berusaha untuk menghubungkan
sikap-sikap mereka yang terpisah dan menyelaraskan sikap dengan perilaku mereka
sehingga mereka kelihatan rasional dan konsisten.
Formasi
sikap mengacu pada pengembangan suatu sikap yang mengarah pada suatu objek yang
tidak ada sebelumnya. Perubahan sikap mengacu pada substitusi sikap baru untuk
seseorang yang telah ditangani sebelumnya. Sikap dibentuk berdasarkan karakter
faktor psikologis, pribadi dan sosial. Hal pokok yang paling fundamental
mengenai cara sikap dibentuk sepenuhnya berhubungan langsung dengan pengalaman
pribadi terhadap suatu objek, yaitu pengalaman yang menyenangka maupun tidak,
traumatis, frekuensi kejadian, dan pengembangan sikap tertentu yang mengarah
pada gambaran hidup baru.
1.
Beberapa Teori Terkait dengan Sikap
Teori Perubahan Sikap merupakan teori perubahan sikap yang dapat membantu untuk memprediksikan pendekatan yang paling efektif. Sikap, mungkin dapat berubah sebagai hasil pendekatan dan keadaan.
Teori Perubahan Sikap merupakan teori perubahan sikap yang dapat membantu untuk memprediksikan pendekatan yang paling efektif. Sikap, mungkin dapat berubah sebagai hasil pendekatan dan keadaan.
2.
Teori Pertimbangan Sosial
merupakan
teori pertimbangan sosial ini
merupakan suatu hasil perubahan mengenai bagaimana orang-orang merasa menjadi
suatu objek dan bukannya hasil perubahan dalam memercayai suatu objek. Teori
ini menjelaskan bahwa manusia dapat menciptakan perubahan dalam sikap individu
jika mau memahami struktur yang menyangkut sikap orang laindan membuat
pendekatan setidaknya untuk dapat mengubah ancaman.
3.
Konsistensi dan Teori Perselisihan
merupakan
teori konsistensi menjaga hubungan
antara sikap dan perilaku dalam ketidakstabilan, walaupun tidak ada tekanan
teori dalam sistem. Teori perselisihan adalah suatu variasi dari teori
konsistensi.
4.
Teori Disonansi Kognitif,
Leon Festinger pada tahun 1950-an
mengemukakan teori Disonansi Kognitif. Teori ini menjelaskan hubungan antara
sikap dan perilaku. Disonansi dalam hal ini berarti adanya suatu inkonsistensi.
Festinger mengatakan bahwa hasrat untuk mengurangi disonansi akan ditentukan
oleh pentingnya unsur-unsur yang menciptakan disonansi itu, derajat pengaruh
yang diyakini dimiliki oleh individu terhadap unsur-unsur itu, dan ganjaran
yang mungkin terlibat dalam disonansi. Teori ini dapat membantu kecenderungan
untuk mengambil bagian dalam perubahan sikap dan perilaku.
5.
Teori Persepsi Diri
merupakan
teori persepsi diri menganggap bahwa
orang-orang mengembangkan sikap berdasarkan bagaimana mereka mengamati dan
menginterpretasikan perilaku mereka sendiri. Teori ini mengusulkan fakta bahwa
sikap tidak menentukan perilaku, tetapi sikap itu dibentuk setelah perilaku
terjadi guna menawarkan sikap yang konsisten dengan perilaku.
6.
Teori
Motivasi dan Aplikasinya, terdapat
keyakinan bahwa perilaku manusia ditimbulkan oleh adanya motivasi. Dengan
demikian, ada sesuatu yang mendorong (memotivasi) seseorang untuk berbuat
sesuatu.
7.
Teori Motivasi Awal, Tiga teori spesifik dirumuskan selama kurun waktu tahu
1950-an. Ketiga teori ini adalah teori hierarki kebutuhan,teori X dan Y, dan
teori motivasi higiene. Teori-teori ini bersifat awal karena: 1) teori-teori
ini mewakili suatu dasar dari mana teori-teori kontemporer berkembang, dan 2)
para manajer mempraktikkan penggunaan teori dan istilah-istilah ini untuk
menjelaskan motivasi karyawan secara teratur.
8.
Teori
Kebutuhan dan Kepuasan, Moslow
menjelaskan suatu bentuk teori kelas. Teorinya menjelaskan bahwa masing-masing
individu mempunyai beraneka ragam kebutuhan yang dapat mempengaruhi perilaku
mereka. Hierarki kebutuhan manusia oleh Moslow:
a.
Kebutuhan
fisiologis (physiologis needs ), yaitu kebutuhan fisik , seperti rasa lapar,
rasa haus, kebutuhan akan perumahan, pakaian, dan lain sebagainya.
b.
Kebutuhan
akan keamanan (safety needs ), yaitu akan kebutuhan keselamatan dan
perlindungan dari bahaya, ancaman, perampasan atau pemecatan.
c.
Kebutuhan
sosial (social needs ), yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan dalam
menjalin hubunnga dengan orang lain, kebutuhan akan kepuasan dan perasaan
memiliki serta diterima dalam suatu kelompok, rasa kekeluargaan, persahabatan,
dan kasih sayang.
d.
Kebutuhan
akan penghargaan (esteem needs ), yaitu kebutuhan akan status atau kedudukan,
kehormatan diri, reputasi, dan prestasi.
e.
Kebutuhan
akan aktualisasi diri (self actualization needs ), yaitu kebutuhan pemenuhan
diri untuk mempergunakan potensi ekspresi diri dan melakukan apa yang paling
sesuai dengan dirinya.
9.
Teori Prestasi,
Teori ini pada awalnya dikembangkan
oleh McClelland pada awal tahun 1990. Teori McClelland mempunyai suatu faktor
hierarki yang memotivasi perilaku. Dalam kasus ini, terdapat tiga faktor yaitu
prestasi, kekuatan dan afiliasi. Riset yang dilakukan oleh McClellandmembri
hasil bahwa terdapat tiga karakreristik dari orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang tinggi, yaitu :
a. Orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang tinggi memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap
pelaksanaan suatu tugas atau pencarian solusi atas suatu permasalahan.
b. Orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang tinggi cenderung menetapkan tingkat kesulitan tugas yang moderat dan
menghitung risikonya.
c. Orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang tinggi memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh umpan balik
(feed back ) atau tanggapan atas pelaksanaan tugasnya.
10.
Teori Motivasi, Pada
pertengehan tahun 1960-an Herzberg mengajukan suatu teori motivasi yang di bagi
kedalam beberapa faktor. Asumsi terpenting dari bentuk teori Herzberg adalah
faktor yang mempunyai pengaruh positif dalam motivasi dan menjadi bahan
perbedaan yang menyenangkan dari seluruh pengaruh negatif. Faktor-faktor ini meliputi
: kebijakan perusahaan, kondisi pekerjaan, hubungan perseorangan, keamanan
kerja dan gaji. Faktor motivasi meliputi : prestasi, pengakuan, tantangan
pekerjaan, promosi, dan tanggung jawab.
11.
Teori Keadilan, Teori keadilan
pertama kali dipublikasikan oleh Adam pada tahun1963. Dalam teori keadilan,
kunci ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh seorang individu
adalah jika orang tersebut membandingkannya dengan lingkungan lainnya.
12.
Teori Harapan, Teori ini dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Kurt Levin
dan Edward Tolman. Teori harapan disebut juga teori valensi atau teori
instrumentalis. Ide dasar teori ini adalah bahwa motivasi ditentukan oleh hasil
yang diharapkan akan diperoleh seseorang sebagai akibat dari tindakannya.
Variabel-variabel kunci dalam teori harapan adalah: usaha (effort), hasil
(income),harapan (expectancy), instrumen-instrumen yang berkaitan dengan
hubungan antara hasil tingkat pertama dengan hasil tingkat kedua,hubungan
antara prestasi dan imbalan atas pencapaian prestasi, serta valensi yang
berkaitan dengan kader kekuatan dan keinginan seseorang terhadap hasil
tertentu.
13.
Teori Penguatan,
Teori penguatan memiliki konsep
dasar yaitu :
Pusat perhatian adalah pada perilaku
yang dapat diukur, seperti jumlah yang dapat diproduksi, kualitas produksi,
ketepatan pelaksanaan jadwal produksi, dan sebagainya. Kontinjensi penguatan
(contingencies of reinforcement), yaitu berkaitan dengan urutan-urutan antara
stimulus, tanggapan, dan konsekuensi dari perilaku yang ditimbulkan. Semakin
pendek interval waktu antara tanggapan atau respon karyawan (misalnya prestasi
kerja) dengan pemberian penguatan (imbalan), maka semakin besar pengaruhya
terhadap perilaku.
14.
Teori Penetapan Tujuan,
Teori ini dikembangkan oleh Edwin
Loceke(1986) konsep dasar dari teori ini adalah bahwa karyawan yang memahami
tujuan (apa yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan terpengaruh perilaku
kerjanya.
15.
Teori Atribusi,
Teori ini dikembangkan oleh Fritz
Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi
antara kekuatan internal (internal forces),
yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan
atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal
forces), yaitu factor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam
pekerjaan atau keberuntungan.
16.
Teori Agensi, Teori ini mengasumsikan kinerja
yang efisien dan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh
kondisi lingkunngan. Teori ini secara umum mengasumsikan bahwa principal
bersikap netral terdadap risiko sementara agen bersikap menolak usaha dan
risiko.
B.
Persepsi
Persepsi
adalah Bagaimana orang-orang melihat atau menginterprestasikan peristiwa,
objek, serta manusia. Menurur kamus Bahasa Indonesia Persepsi adalah sebagai
tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui
beberapa hal melalui panca indra. Sedang dalam lingkup yang lebih luas Persepsi
merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh
dan menginterprestasikan stimulus yang ditunjukkan oleh panca indra. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
adalah sebagai berikut:
a. Faktor Dalam Situasi yang
terdiri dari waktu, keadan (tempat kerja), keadan sosial.
b. Faktor Pada Pemersepsian yang
terdiri dari sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan pengharapan.
c. Faktor Pada Target yang
terdiri dari hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, kedekatan.
Perilaku
para akuntan dapat menerapkan pengetahuan persepsi terhadap banyak aktifitas
organisasi. Misalnya dalam evaluasi kinerja, cara penilaian atas seseorang
mungkin dipengaruhi oleh ketelitian persepsi penyedia. Kesalahan atau bias
penilaian mungkin diakibatkan oleh sandiwara yang mencoba untuk menakut-nakuti
sehingga karyawan mrasa tidak puas dan meninggalkan perusahaan. Oleh karena itu
para penyelia perlu mengenali perasaan mereka terhadap bawahannya. Bawahan
tertentu dapat mempengaruh evaluasi mereka, dan harus waspada terhadap sumber
penyimpangan persepsi ini. Kesalahan persepsi dapat juga mendorong kearah ketegangan
hubungan antar pribadi karyawan. Ketika sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang
menegangkan seorang penyelia perlu menentukan penyebab terjadinya peristiwa
bisnis yang dipandang berbeda oleh orang-orang yang berbeda.
C. Nilai
Nilai secara mendasar dinyatakan sebagai suatu modus perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas dan lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan suatu modus perilaku atau keadaan akhir yang berlawanaan.
Dalam mempelajari perilaku dalam organisasi, nilai dinyatakan penting karena nilai meletakkan dasar untuk memahami sikap serta motivasi dan karena nilai memengaruhi sikap manusia.seseorang memasuki organisasi dengan gagasan yang dikonsepkan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya.
Nilai secara mendasar dinyatakan sebagai suatu modus perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas dan lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan suatu modus perilaku atau keadaan akhir yang berlawanaan.
Dalam mempelajari perilaku dalam organisasi, nilai dinyatakan penting karena nilai meletakkan dasar untuk memahami sikap serta motivasi dan karena nilai memengaruhi sikap manusia.seseorang memasuki organisasi dengan gagasan yang dikonsepkan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya.
Permasalahan profesi akuntansi
sekarang ini banyak dipengaruhi masalah kemerosotan standar etika dan krisis
kepercayaan. Krisis kepercayaan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi para
akuntan untuk lebih berbenah diri, memperkuat kedisiplinan mengatur dirinya
dengan benar, serta menjalin hubungan yang lebih baik dengan para klien atau
masyarakat luas. Misal: skandal Enron yang melibatkan Arthur Anderson, serta
skndal Worldcom, Merck, dan Xerox,
profesi akuntan menjadi gempar.
D. Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses dimana perilaku baru diperlukan. pembelajaran terjadi sebagai hasil dari motivasi, pengalaman, dan pengulangaan dalam merespon situasi. Kombinasi dari motivasi, pengalaman dan pengulangan dalam merespons situasi ini terjadi dalam tiga bentuk: pengaruh keadaan klasik, pengaruh keadaan operant, dan pembelajaran sosial.
Pembelajaran adalah proses dimana perilaku baru diperlukan. pembelajaran terjadi sebagai hasil dari motivasi, pengalaman, dan pengulangaan dalam merespon situasi. Kombinasi dari motivasi, pengalaman dan pengulangan dalam merespons situasi ini terjadi dalam tiga bentuk: pengaruh keadaan klasik, pengaruh keadaan operant, dan pembelajaran sosial.
Walaupun teori pembelajaran sosial
merupakan suatu perpanjangan dari pengondisian operant, di mana teori tersebut
mengandalkan perilaku sebagai suatu fungsi dari konsekuensi-konsekuensi, teori
itu juga mengakui eksistensi pembelajaran observasional(lewat pengamatan) dan
pentingya persepsi dalam belajar.
E.
Kepribadian
Aplikasi
utama dari teori kepribadian dalam organisasi adalah memprediksikan perilaku.
Pengujian terhadap perilaku ditentukan oleh banyaknya efektivitas dalam tekanan
pekerjaan, siapa yang akan menanggapi kritikan dengan baik, siapa yng pertama
harus dipuji dahulu sebelum berbicara mengenai perilaku tidak diinginkan, siapa
yang menjadi seorang pemimpin potensial. Semuanya itu merupakan bentuk-bentuk
pemahamaan atau kepribadian.
Suatu
argumen dini dalam riset kepribadian adalah apakah kepribadian seseorang
merupakan hasil keturunan atau lingkungan. Kepribadian tampaknya merupakan
hasil dari kedua pengaruh tersebut. Selain itu, dewasa ini dikenal faktor
ketiga, yaitu faktor situasi
a. Keturunan, Pendekatan keturunan
beragumentasi bahwa penjelasan paling akhir dari kepribadian seseorang individu
adalah struktur molekul dari gen yang terletak dalam kromosom.
b. Lingkungan, Di antara faktor-faktor
yang menekankan pada pembentukan kepribadian adalah budaya dimana seseorang
dibesarkan, pengondisian dini, norma-norma di antara keluarga, temam-teman, dan
kelompok-kelompok social, serta pengaruh lain yang dialmi.
c. Situasi, Faktor ini mempengaruhi
dampak keturunan dan lingkungan terhadap kepribadian. Kepribadian seseorang
walaupun kelihatannya mantap dan konsisten, dapat berubah pada kondisi yang
berbeda.
2.2 Definisi Akuntansi sosial
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting)
sebenarnya bukan merupakan istilah baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi
membuat istilah masing-masing untuk menggambarkan transaksi antara perusahaan
dengan lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan
istilah Social Accounting dan mendefinisikannya sebagai proses pemilihan
variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik
secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988)
menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan
cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993) membuat
suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses
pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan dengan
lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar
akuntansi di Indonesia menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial
(APS) sebagai akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya
pertanggungjawaban sosial perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan
akuntansi sosial sebagai suatu pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan
metode pengukurannya, struktur pelaporan dan komunikasi informasi kepada
pihak–pihak yang berkepentingan. Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan
gambaran tentang hubungan mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan
informasi yang dihasilkan, sehingga secara kongkrit informasi tersebut dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya definisi
yang diberikan oleh para pakar akuntansi mengenai akuntansi sosial memiliki
karakteristik yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramanathan (1976)
dalam Arief Suadi (1988), yaitu Akuntansi sosial berkaitan erat dengan masalah
: (1) Penilaian dampak sosial dari kegiatan entitas bisnis, (2) mengukur
kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab sosial perusahaan, dan (4)
sistem informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap sumber-sumber
daya perusahaan dan dampaknya secara sosial ekonomi.
Akuntansi
Sosial sering juga disebut Akuntansi Lingkungan ataupun Akuntansi Sosial
Ekonomi, oleh Belkoui (2000), yang diterjemahkan Ramanathan, didefinisikan
sebagai proses seleksi variabel-variabel kinerja sosial tingkat perusahaan,
ukuran dan prosedur pengukuran; yang secara sistematis mengembangkan informasi
yang bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja sosial perusahaan dan
mengkomunikasikan informasi tersebut kepada kelompok sosial yang tertarik, baik
di dalam maupun di luar perusahaan. Sedangkan menurut Haniffa (2002), Akuntansi
sosial mengidentifikasi, menilai dan mengukur aspek penting dari kegiatan
sosial ekonomi perusahaan dan negara dalam memelihara kualitas hidup masyarakat
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkannya.
Kegundahan Gray (1994) tentang memaknai
akuntansi sosial dan lingkungan membawa proses pertumbuhan pemahaman terhadap
sub disiplin akuntansi ini. Akuntansi sosial dan lingkungan (yang kita ketahui
juga sebagai akuntansi sosial, akuntansi lingkungan, corporate social reporting,
corporate sosial responsibility reporting, non-financial reporting,
atau sustainability accounting) adalah proses pengkomunikasian efek
sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi organisasi kepada beberapa kelompok
tertentu dalam suatu lingkungan. Akuntansi sosial dan lingkungan biasa
digunakan dalam hubungannya dengan bisnis, walaupun organisasi secara luas,
seperti NGO, dan institusi pemerintahan bahkan institusi pendidikan juga
menggunakannya.
Pandangan lebih khusus dan sangat
kalkulatif disampaikan oleh Belkaoui (2006: 349). Belkaoui mengartikan
akuntansi sosial dan lingkungan sebagai proses untuk memilih variabel,
mengukur, dan menghasilkan pengukuran dari kinerja sosial dalam tingkatan
organisasi; yang secara sistematis mengembangkan informasi yang berguna untuk
evaluasi kinerja sosial organisasi tersebut, dan mengkomunikasikan bahwa
informasi untuk kelompok-kelompok sosial itu adalah suatu hal yang penting,
baik untuk internal maupun eksternal organisasi. Kemudian Zarkasyi (2007: 10)
mendefinisikan akuntansi sosial dan lingkungan adalah suatu usaha untuk
mengganti kerugian dengan pertimbangan bahwa organisasi mempengaruhi, melalui
tindakannya, pada lingkungan eksternal (baik secara positif dan negatif) dan
karenanya harus memperhitungkan efek-efek sebagai bagian dari keseluruhan
akuntansi sebagai tindakannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa akuntansi mempunyai
perhatian dalam caranya untuk tidak membebaskan manusia dan organisasinya
tumbuh begitu saja dengan tidak memperdulikan sosial dan lingkungannya.
Secara khusus Hendricksen dan Breda
(1992: 10) menggambarkan keprihatinan organisasi pada isu-isu dalam pandangan
mikro-ekonomi akuntansi tidak harus mencakup semua efek organisasi terhadap
masyarakat. Adalah penting biaya polusi terhadap lingkungan, pengangguran,
kondisi kerja yang tidak sehat, dan masalah sosial lainnya biasanya tidak
dilaporkan oleh organisasi, kecuali bahwa biaya tersebut ditanggung langsung
oleh organisasi melalui perpajakan dan regulasi.
Menurut Sahid (2002), ada beberapa
pengertian akuntansi lingkungan atau akuntansi sosial, ada pengertian yang luas
dan ada pula pengertian yang sempit. Dalam pengertian yang luas dalam himpunan
istilah lingkungan untuk manajemen (Handry Satriago), akuntansi lingkungan
merupakan proses akunting yang:
a.
Mengenali, mencari, dan
kemudian mengurangi efek-efek lingkungan negatif dari pelaksanaan praktik laporan
yang konvensional;
b.
Mengenali secara terpisah
biaya-biaya dan penghasilan yang berhubungan dengan lingkungan dalam sistem
laporan yang konvensional;
c.
Mengambil langkah-langkah
aktif untuk menyusun inisiatif-inisiatif untuk memperbaiki efek-efek lingkungan
yang timbul dari praktik-praktik pelaporan konvensional;
d.
Merencanakan bentuk-bentuk
baru sistem laporan finansial dan non finansial, sistem informasi dan sistem
pengawasan untuk lebih mendukung keputusan manajemen yang secara lingkungan
tidak berbahaya;
e.
Mengembangkan bentuk-bentuk
baru dalam pengukuran kinerja, pelaporan, dan penilaian untuk tujuan internal
dan eksternal;
f.
Mengenali, menguji, mencari
dan memperbaiki area-area dimana kriteria finansial konvensional dan kriteria
lingkungan bertentangan;
g.
Mencoba cara-cara dimana
sistem berkelanjutan dapat dinilai dan digabungkan menjadi kebiasaan yang
berhubungan dengan organisasi.
Dalam pengertian sempit, sebagaimana
dikemukakan dalam Natural Resource Accounting, salah satu dokumen INTOSAI
Working Group on Environtmental Auditing menyatakan bahwa “akuntansi
lingkungan sebagai kompilasi data lingkungan dalam kerangka kerja akuntansi”.
(Sahid, 2002)
Dari definisi-definisi tersebut dapat
dilihat bahwa akuntansi sosial memberikan gambaran mengenai interaksi dari
aktivitas perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Akuntansi sosial juga
memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi
kinerja sosial dari perusahaan.
Dari beberapa
pengertian akuntansi sosial di atas maka dapt dismpulkan dari pengertian
akuntansi sosialadalah mengidentifikasi, mengukur dan melaporkan hubungan
antara bisnis dan lingkungannya. Lingkungan bisnis meliputi sumber daya alam,
komunitas dimasa bisnis tersebut beroperasi, orang-orang yang dipekerjakan, pelanggan,
pesaing, dan perusahaan serta kelompok lain yang berurusan dengan bisnis
tersebut. Prose pelaporan dapat bersifat baik internal maupun eksternal.
2.3
Fase-Fase Perkembangan
Akuntansi Sosial dan Lingkungan
Avatar
Grace adalah seorang peneliti flora dan fauna yang berpendapat bahwa lingkungan
Pandora mempunyai sistem bio-botanical neural network. Bio-botanical neural
network ini mempunyai satu kesatuan dalam system alam yang tidak dapat
dipisahkan. Bila satu dihancurkan akan berpengaruh kepada yang lain. Avatar
pada sistem kehidupan penduduk Na‘vi mempunyai fase pertumbuhan dan
pengembangan dengan sistem jaringan neural (saraf).
Metafora ini seiring
dengan fase-fase perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan (Lihat Gambar 1
dibawah ini). Gambar tersebut adalah sistem jaringan saraf yang antara satu
dengan yang lain mempunyai kaitan dan saling mempunyai relasi. Menariknya dari
Gambar tersebut adalah Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya (JAUB) berada
dalam system jaringan saraf perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan dunia.
JAUB masuk dalam pusaran jaringan saraf ke sepuluh dengan kontribusi nya pada
titik saraf sosio-spiritual akuntansi. Mari kita telaah kontribusi JAUB pada
Perkembangan Akuntansi Sosial dan Lingkungan di Dunia ini.
Fase Pertama Howard Bowen
Howard Bowen (1908-1989) adalah seorang
historian ekonom Amerika yang memberikan inspirasi kemunculan akuntansi sosial
dan lingkungan. Bowen mengawali karirnya di University of Iowa, hingga keposisi
the presiden of Grinnell College, the University of Iowa. Kontribusi Bowen
adalah dengan publikasi buku dengan judul Social Responsibility of Businessmen
tahun 1953. Bowen (1953) meletakan dasar konsep ini dengan mengatakan
― it refers to the obligation of
businessman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow
those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values
of our society ‖.
Kemudian secara kolektif dijadikan
landasan awal mendefinisikan tanggungjawab sosial bagi kewajiban pelaku bisnis
untuk menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan (objectives)
dan nilai-nilai masyarakat (Society values). Konsep ini merontokan faham
ekonomi yang dengan perngorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil yang
sebesar-besarnya. Jadi sudah lama hukum ekonomi yang selalu kita dengar di
sekitar kita ini telah rontok. Jangan lah kita pakai lagi pemahaman hukum
ekonomi ini, berkorban sedikit untuk hasil yang sebesarnya. Nilai-nilai sosial
dan lingkungan harus menjadi tujuan organisasi. Sekalipun masa itu belum sangat
berarti dalam perkembangannya, tetapi American Accounting Association (1971)
mencatat bahwa fase ini mulai bermunculan gagasan, konsep, proposal dan
pendekatan untuk memperkenalkan awal akuntansi sosial dan lingkungan. Asosiasi
ini berpandangan bahwa Non-Financial Measures (atau Pengukuran Non Keuangan)
adalah penting untuk efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis
Menyambung apa yang digagas oleh Bowen
(1953), Davis (1960) memperkenalkan tulisnya tentang Can Business Afford to
Ignore its Social Responsibilities? Davis secara tajam berpandangan bahwa
tanggungjawab sosial harus dimiliki oleh organisasi. Businesses' decisions and actions taken for reasons at least partially
beyond the firm‘s direct economic or technical interest (Davis, 1960)
Dengan pernyataan ini Davis menegaskan
adanya tanggung jawab sosial organisasi di luar tanggung jawab ekonomi semata.
Argumen Davis menjadi sangat relevan, karena pada masa tersebut (1960an)
pandangan mengenai tanggung jawab sosial organisasi masih sangat didominasi
oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu, para ekonom klasik memandang
para pelaku bisnis itu memiliki tanggung jawab sosial sebatas penggunaan sumber
daya organisasi mereka secara efisien, untuk menghasilkan barang dan jasa
dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Tanggungjawab sosial mereka
sebatas masyarakat dapat membeli dengan harga yang telah diciptakan secara
efisien. Bila hal tersebut berjalan dengan baik maka organisasi akan
mendapatkan keuntungan atas penjualan dan kemudian organisasi akan mampu
melakukan tanggung jawab sosialnya, seperti:
a. Menciptakan lapangan kerja.
b. Memberi kontribusi untuk pemerintahan
dengan cara membayar pajak.
c. Menghasilkan barang dengan harga yang
rasional.
Para ekonom klasik ini secara kuat
berpandangan bahwa memupuk laba semaksimal mungkin adalah cara klasik mereka
dalam berbisnis.
Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Committee for Economic Development (CED)
adalah organisasi non-profit dan non-partisan Amerika yang beranggotakan 200
senior corporate executives dan pemimpin universitas terkemuka membuat laporan
sangat fenomena tahun 1971 berjudul ―Social
Responsibilities of Business Corporations.‖ Laporan tersebut menggunakan ―three
concentric circles‖ yaitu
Firstly, the inner circle included basic economic
functions—growth, products, jobs. Secondly, the intermediate circle suggested
that the economic functions must be exercised with a sensitive awareness of
changing social values and priorities.
And thirdly, the outer circle outlined newly emerging and still
amorphous responsibilities that business should assume to become more actively
involved in improving the social Environment (Carroll, 1991)
Three concentric cicles ini dapat
difahami bahwa
1.
Inner circle of
responsibilities (lingkaran tanggungjawab
terdalam)
Pada lingkaran ini
organisasi bisnis diharapkan mampu melaksanakan pertumbuhan ekonomi,
menghasilkan barang/ jasa, dan menyediakan aktivitas pekerjaan kepada
masyarakat.
2.
Intermediate circle of
responsibilities (lingkaran tanggungjawab
menengah)
Menunjukkan tanggung jawab
untuk melaksanakan fungsi ekonomi sementara pada saat yang sama memiliki
kepekaan kesadaran terhadap perubahan nilai-nilai dan prioritas-prioritas
sosial seperti meningkatnya perhatian terhadap konservasi lingkungan hidup,
hubungan dengan karyawan, meningkatnya ekspektasi konsumen untuk memperoleh
informasi produk yang jelas, serta perlakuan yang adil terhadap karyawan di
tempat bekerja.
3.
Outer circle of
responsibilities (lingkaran tanggung jawab
terluar)
Mencakup kewajiban
perusahaan untuk lebih aktif dalam meningkatkan kualitas lingkungan sosial.
Pada tahun 1971 ini ditandai dengan pemahaman yang komprehensif terhadap
akuntansi sosial dan lingkungan dalam kehidupan bisnis, sebagai akibat three
concentric cicles.
―Today
it is clear that the terms of social contract between society and business are,
in fact, changing in substantial and important ways. Business is being ask to
assume broader responsibilities to society than ever before and to serve a
wider range of human values. Business enterprise, in effect, are being asked to
contribute more to the quality of American life than just supplying quantities
of goods and services.‖
Carroll (1979) menjelaskan
komponen-komponen tanggungjawab sosial organisasi bisnis ke dalam empat
kategori, yaitu:
1.
Economic
responsibilities, tanggungjawab sosial pada
kategori ini berlandaskan bahwa motif profit adalah motif utama dalam membangun
organisasi bisnis. Organisasi bisnis pada dasarnya adalah tanggungjawab ekonomi
karena lembaga bisnis terdiri atas aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang
dan jasa bagi masyarakat yang menguntungkan.
2.
Legal responsibilities, tanggungjawab organisasi dalm menjalankan bisnis yaitu dengan
menaati hukum dan peraturan yang berlaku di mana hukum dan peraturan tersebut
pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif.
Tanggungjawab legal ini adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi
dalam berbisnis.
3.
Ethical
responsibilities, organisasi diharapkan
menjalankan bisnisnya secara etis dan norma moral masyarakat. Masing-masing
pihak dalam menjalankan bisnis diatur standar, etika, norma agar masing-masing
puas dalam berbisnis.
4.
Discretionary
responsibilities, tanggungjawab ini
bersumber pada pandangan bahwa keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan
manfaat bagi masyarakat. Ekspektasi masyarakat tersebut dipenuhi oleh
organisasi melalui berbagai program yang bersifat Filantropis
(kedermawanan).
Selain isu mengenai kapasitas organisasi
dalam memberikan respons terhadap tekanan-tekanan sosial yang akan tercermin
dari citra organisasi di mata publik, perkembangan akuntansi sosial pada tahun
1970-an sampai 1980-an juga lingmencatat adanya kebutuhan baru dari organisasi
yang melaksanakan aktivitas pelaporan sosial dan lingkungan agar aktivitas
sosial dan lingkungan yang mereka lakukan terukur. Oleh karenanya, para
peneliti seperti Carroll (1979); Wartick dan Cochran (1985); dan Wood (1991)
mengembangkan konsep yang disebut dengan corporate social performance (CSP),
yang didalamnya mengandung tiga dimensi, yaitu:
1.
Dimensi kategori tanggung
jawab sosial (ekonomi, hukum, etika, dan discretionary).
2.
Dimensi kemampuan memberikan
respons (responsiveness).
3.
Dimensi dalam isu sosial
tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi pekerja, keamanan produk,
keselamatan pekerja dan pemegang saham).
Berkaitan dengan hal tersebut, Wood
(1991) mendefinisikan CSP sebagai: ―a business organization`s of principle
of social responsibilities, process of social responsiveness, and policies,
programs and observable outcomes as they relate to the firm`s societal
relationship‖.
Sebagaimana dapat dilihat dari definisi
CSP tersebut, dampak pelaksanaan akuntansi sosial dan lingkungan yang dapat
diamati (observable outcome) merupakan isu penting dalam model CSP yang
membedakannya dengan konsep akuntansi sosial dan lingkungan generasi awal. Hal
ini sejalan dengan menguatnya tuntutan agar pelaksanaan akuntansi sosial dan
lingkungan dapat memberikan dampak yang terukur serta memberikan kontribusi
terhadap kinerja keuangan organisasi.
Fase Keempat Mandatori Regulasi Perancis Pertama di Dunia
Davis (1960) kemudian mempertegas
argumennya dengan statemen tentang ―iron law of responsibility‖ yang
menjadi fase ini tumbuh sebagai penyemangat kemunculan akuntansi sosial dan
lingkungan. Davis menyatakan bahwa: ―social responsibility of businessman
need to be commensurate with their social power…then the avoidance of social
responsibility leads to gradual erosion of social power ―.Argumen-argumen
yang dibangun oleh Davis, menjadi cikal bakal untuk identifikasi kewajiban
organisasi bisnis yang akan mendorong munculnya konsep akuntansi sosial dan
lingkungan di era 70-an. Selain itu, konsepsi Davis mengenai ―iron law of
responsibility― menjadi acuan bagi pentingnya reputasi dan legitimasi
publik atas keberadaan suatu organisasi. Negara Amerika lebih dulu
mengembangkan tanggungjawab ini, kendatipun regulasi belum dilaksanakan secara
mandatory. Beberapa Negara seperti German dan Eropa Barat kemudian mengikuti
mengadopsi regulasi yang pertama dilakukan oleh Amerika tentang laporan
tanggungjawab sosial (Social Responsibility Reporting) (Preston, et.al 1978).
Perancis adalah Negara yang pertama pada tahun 1977 mewajibkan organisasi
bisnis untuk melaporkan kegiatan tanggungjawab sosialnya.
―the only country that actually did introduce legislation
requiring corporate social reporting at this time was France in 1977. The
French law mandates a report "composed of a lengthy list of indicators
open to ulterior statistical treatments and multiple interpretations" and
its scope is quite narrow, covering employee issues butno impacts of business
on the social or natural environment "even though preliminary work had
provided for this possibility" (Capron 1997, p.3)
Fase ini membawa perubahan yang sangat
mendasar tentang beberapa persyaratan detail tentang pelaporan akuntansi sosial
dan lingkungan. Kendatipun hal ini masih terbatas di Perancis, tetapi regulasi
ini menjadi dasar kajian beberapa Negara maju untuk mulai memikirkan tentang
implementasi akuntansi sosial dan lingkungan.
Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang
disongsong dengan ekonomi neoliberalisme yang konservatif pada tahun 1980an
mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan. Propaganda
kedermawanan para pemilik perusahaan besar mulai mengatur strategi baru untuk
extra hati-hati terhadap pengeluaran dana mereka. Para pemegang saham
perusahaan besar mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap tanggungjawab
sosial mereka. Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi dengan
kinerja perusahaan-perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM, General
Motors dan Westinghouse di Amerika. Saat bersamaan pula terjadinya skandal
keuangan oleh antara lain Maxwell dan Adir di UK, hal ini berakibat munculnya
regulasi tentang corporate governance yang mengutamakan para pemegang saham.
Ini berdampak ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi bisnis besar
dunia.
Sekalipun masa tersebut terjadi resistan
dan pengendalian keuangan yang ketat, konsep dan kerangka model akuntansi
sosial dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya pada masa ini beberapa konsep
baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut adalah Socially
Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di UK.
Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk
kombinasi finansiil dan non-finansiil dalam menilai kinerja organisasi.
Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman, yang kemudian
didesain ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi
sosial dan lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance Scorecard. Ke empat perspektif
sangat fenomenal tersebut adalah
Financial:
encourages the identification of a few relevant high-level financial measures.
In particular, designers were encouraged to choose measures that helped inform
the answer to the question "How do we look to shareholders?"
Customer:
encourages the identification of measures that answer the question "How do
customers see us?"
Internal Business Processes:
encourages the identification of measures that answer the question "What
must we excel at?"
Learning and
Growth: encourages the identification of measures that answer the question
"Can we continue to improve and create value?".
Awal tahun 1990an merupakan booming
model pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan dengan memanfaatkan konsep
Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar di Amerika dan Eropa menggunakan
konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan kepedulian organisasinya kepada
stakeholdernya.
Fase Ketujuh Robert Hugh Gray
Kontribusi Gray (1992) untuk
pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan tidak diragukan lagi. Publikasinya
telah mewarnai konsep akuntansi sosial dan lingkungan hingga gagasan accounting
for sustainability. Gray (1993) mengidentifikasikan warna yang beda terhadap
metode akuntansi sustainabilitas. Metode tersebut adalah
1.
Sustainable Cost, metode
ini memberikan penekanan pada biaya yang harus dikeluarkan oleh organisasi pada
akhir periode akuntansi, untuk mengembalikan dampak lingkungan hidup seperti
posisi semula.
2.
Natural Capital Inventory Accounting, metode ini memberikan perhatian serius terhadap keberadaan Modal
Alam (Natural Capital), sebagai penyertaan yang selalu ada.
3.
Input – Output Analysis, metode
ini melaporkan arus fisik pemanfaatan material dan energy dan keluar atas
produk dan barang sisa dalam unit.
Pada Fase ini, pemahaman akuntansi
sosial dan lingkungan secara khusus didesain secara quantitative dalam bentuk
nilai moneter, sebagaimana melengkapi akuntansi konvensional selama ini.
Fase Kedelapan John Elkington’s Triple Bottom Line
Elkington (1997) adalah peletak dasar
konsep ‗triple bottom line‘. Konsep ini memberikan inspirasi lebih serius
tentang perluasan akuntansi konvensioanl yang ‗single bottom line‘, yaitu
keuangan saja. Istilah ‗Triple Bottom Line‘menjadi penting saat people, planet
dan profit ditawarkan menjadi konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial dan
lingkungan.
1.
Profit (Keuntungan perusahaan)
Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan
ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2.
People (Kesejahteraan manusia/masyarakat)
Perusahaan harus memiliki
kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan
program Corporate Social Responsibility seperti pemberian beasiswa bagi
pelajar di sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan,
penguatan kapasitas ekonomi lokal dan bahkan ada perusahaan yang merancang
berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.
3.
Planet (Keberlanjutan lingkungan hidup)
Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan
keragaman hayati. Beberapa program Corporate Social Responsibility yang
berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup,
penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman dan pengembangan pariwisata.
Triple bottom line dengan ‖triple
P‖ dapat disimpulkan bahwa ‖profit‖ sebagai wujud aspek ekonomi, planet‖
sebagai wujud aspek lingkungan dan ‖people‖ sebagai aspek sosial. Dan
jika dirinci lebih lanjut dari ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka
ketiga aspek tersebut dapat diwujudkan dalam kegiatan berikut:
1.
Aspek Sosial, misalnya:
pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan,penguatan kelembagaan (secara
internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga
pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya.
2.
Aspek Ekonomi, misalnya:
kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil dan menegah, agrobisnis,
pembukaan lapangan pekerjaan, infrastruktur ekonomi dan usaha produktif lain.
3.
Aspek Lingkungan,misalnya:
penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air, pelestarian alam, ekowisata
penyehatan lingkungan, pegendalian polusi, serta penggunaan produksi dan energi
secara efisien.
Ketiga aspek tersebut tanpa kehadiran
aspek spiritual yang implementasinya dibutuhkan strategi tertentu. Adapun
strategi dasar yang dapat digunakan dalam implementasi akuntansi sosial dan
lingkungan tersebut adalah:
1.
Penguatan kapasitas (capacity
building)
2.
Kemitraan (collaboration),
dan
3.
Penerapan inovasi.
Sedangkan menurut Brodshaw dan Vogel
(1981) menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari garis besar ruang lingkup
akuntansi sosial dan lingkungan yaitu sebagai berikut:
1.
Corporate philantrophy adalah usaha-usaha amal yang dilakukan oleh suatu organisasi,
dimana usaha-usaha amal ini tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan
normal organisasi.
2.
Corporate
responsibility adalah usaha-usaha wujud
tanggung jawab sosial organisasi ketika sedang mengejar profitabilitas sebagai
tujuan organisasi.
3.
Corporate policy adalah berkaitan erat dengan bagaimana hubungan organisasi dengan
pemerintah yang meliputi posisi suatu organisasi dengan adanya berbagai
kebijakan pemerintah yang mempengaruhi baik untuk organisasi atau masyarakat
secara keseluruhan.
Akuntansi sosial dan lingkungan pada
fase ini mulai disibukkan dengan model laporan yang memberikan kategori relasi
aktivitas berhubungan dengan masyarakat, ekonomi dan lingkungan.
Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan
Elkington (1997), NGO CERES (Coalition for Environmentally Responsible
Economies) dan the United Nations Environment Programmes (UNEP) mendirikan GRI
(Global Reporting Initiative), organisasi independen yang membangun standar
Sustainability Reporting. Guideline GRI pertama dikeluarkan tahun 1999 (GRI,
1997)
GRI was set up to develop and disseminate globally applicable
Sustainability Reporting Guidelines. It helps organisations – and their
stakeholders – to report on the economic, environmental, and social dimensions
of their activities, products, and services, using six extra-financial
indicators.
The GRI recognises the need for non-financial indicators to
measure a company's impact in terms of sustainable development and also to
assess its overall performance, a factor that contributes to its future
profitability.
GRI mengidentifikasikan 6 (enam)
extra-indikator keuangan: aspek kemasyarakatan, ekonomi, lingkungan,
ketenagakerjaan, hak asasi manusia, tanggungjawab produk. Hingga sekarang GRI
telah mengeluarkan pedoman generasi ke 3 (G3 GRI) pada tahun 2006. Fase ini
membawa perkembangan akuntansi sosial dan lingkungan menjadi lebih baik dan
menjadi pola adopsi yang cukup luas. Model pelaporan GRI G3 ini menginspirasi model
pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan sebagai alternatif pelaporan
akuntansi konvensional. Model GRI ini disimpulkan dengan tanpa kehadiran aspek
spiritual, yang banyak ahli dari banyak lintas disiplin ilmu, mempunyai banyak
terobosan pelaporan komprehensif aktivitas bisnis, kendatipun tanpa aspek
spiritual ada di dalamnya.
Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi
Akuntansi telah memasuki phenomena baru
‗beyond materiality‘ (Sukoharsono, 2008). Akhir tahun 2000, Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya memperkenalkan pemahaman akuntansi tidak
hanya terbatas pada ‗angka moneter‘ dan ‗tabel jurnal transaksi ekonomi‘,
tetapi juga memperkenalkan relasi ‗spiritualitas‘ dan ‗metafisika‘
(Sukoharsono, 2009). Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan
organisasi (kelompok orang) mempunyai tanggungjawab membangun
peristiwa-peristiwa ekonomi, sosial dan lingkungan dalam organisasi nya yang
direlasikan dengan ‗holy spirit‘.
Holy spirit merupakan bentuk berbasis
religiusitas dan universalitas. Pada pembahasan ini lebih diutamakan holy
spirit dalam bentuk universalitas yang dapat dimaknai dengan kasih yang tulus (merciful),
cinta yang tulus (truthful love), kesadaran transcendental, mampu
melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran. Lima dimensi ini adalah indikator
utama dalam proses pertanggungjawaban individu dan organisasi disekelilingnya.
Sosio-Spiritualitas Akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan holy
spirit dalam mengkreasi dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwa-peristiwa
ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kesatuan organisasi.
Walaupun konvensi akuntansi menggunakan
‗monetary unit‘ dalam pengukuran dan diskursus kebijakannya, sosio-spiritual
akuntansi dibangun dengan memanfaatan ‗multiple units of measurements‘ untuk
menilai kinerja individu dan organisasi. Multiple units of measurements ini
pada dasarnya untuk memberikan assessmen terhadap 5 (lima) unsur holy spirit:
kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love),
kesadaran transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran.
Fase Kesepuluh ini JAUB mengajak dunia
Akuntansi sadar akan nilai-nilai ‗diatas‘ materialitas (beyond materiality).
Sosio Spiritual Akuntansi hadir untuk mengkodifikasi kinerja individu dan
organisasi pada ke 5 (lima) unsur holy spirit tersebut yang dilaporkan secara
periodik kepada stakeholders.
2.4
Tujuan
Akuntansi Sosial
Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994)
adalah untuk memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan
perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. Ramanathan (1976) dalam Arief
Suadi (1988) juga menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : (1)
mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu
perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di
internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang
mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda, (2) membantu menentukan apakah
strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas
sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah
konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak
dan aspirasi individu pada pihak lain, (3) memberikan dengan cara yang optimal,
kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan,
program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial
perusahaan.
Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas
dapat dipahami bahwa akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya
sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi masalah–masalah sosial yang dihadapi
oleh perusahaan, sehingga pos–pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada
masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka panjang
perusahaan.
2.5
Tanggungjawab
Sosial dan Lingkungan
Tanggung jawab sosial ini
erat kaitannya dengan munculnya konsep coorporate
social responsibility (CSR). Secara singkat CSR merupakan suatu upaya
untuk meningkatkan kualitas hidup dari stakeholder.
Stakeholder yang dimaksudkan
disini diantaranya adalah karyawan, pembeli, pemilik, pemasok, dan komunitas
lokal, organisasi nirlaba, aktivis, pemerintah, dan media, yang pada
dasarnya mempunyai tujuan yang sama yakni kemakmuran. Dengan demikian,
perusahaan sebagai entitas bisnis hendaknya peduli terhadap akibat sosial dan
berusaha mengatasi kerugian lingkungan sebagai akibat dari aktivitas usaha
perusahaan.
Kita ketahui bersama Prinsip
perusahaan yang profit ini ingin mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya. Sehingga
seringkali menyebabkan tindakan yang menjurus menghalalkan segala cara. Polusi
air dan udara, kebisingan suara, keracunan, radiasi, kemacetan lalu
lintas, produksi makanan haram, serta limbah kimia yang bisa mengancam
masyarakat dan ekosistem adalah suatu contoh bentuk dampak negatif (negative externalities) yang dapat
timbul dari keberadaan dan aktivitas perusahaan. Dalam usaha untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi sering kali mengakibatkan perusakan lingkungan,
berupa pencemaran air, penggundulan hutan, pencemaran udara, dan lainnya.
Perusahaan menganggap semua yang dilakukannya sebagai eksternalitas dari usaha
meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan. Tapi tindakan perusahaan
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi tersebut, di satu sisi hanya
akan meningkatkan produktivitas perusahaan, tetapi di sisi lain juga mungkin
akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain karyawan, konsumen,
dan tentu saja masyarakat.
Keberadaan perusahaan tidak
terlepas dari kepentingan berbagai pihak. Investor berkepentingan terhadap
sumber daya yang diinvestasikan di perusahaan. Kreditor berkepentingan
terhadap pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Pemerintah berkepentingan
terhadap kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku agar kepentingan
masyarakat secara umum tidak terganggu (Satyo, 2005). Namun, yang tak kalah
pentingnya adalah pihak-pihak yang selama ini kurang mendapat perhatian, yaitu
karyawan, pemasok, pelanggan, dan masyarakat di sekitar perusahaan. Karyawan
perlu mendapatkan penghasilan dan jaminan sosial yang layak. Bila memungkinkan,
karyawan memerlukan pendidikan dan pelatihan teknis untuk meningkatkan keahlian
sehingga dapat meningkatkan karier di perusahaan. Pemasok berkepentingan
terhadap pelunasan utang dagang. Pelanggan berkepentingan terhadap kualitas
produk perusahaan. Terakhir, masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan
berkepentingan terhadap dampak sosial dan lingkungan yang berasal dari
aktivitas perusahaan. Dengan berbagai dampak dari keberadaan perusahaan
ditengah-tengah masyarakat, menyadarkan masyarakat di dunia bahwa sumber daya
alam adalah terbatas dan oleh karenanya pembangunan ekonomi harus dilaksanakan
secara berkelanjutan, dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam menjalankan
usahanya perlu menggunakan sumberdaya dengan efisien dan memastikan bahwa
sumber daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh
generasi di masa datang.
2.6
Akuntansi
Pertanggungjawaban Sosial dan Lingkungan
Akuntansi pertanggungjawaban
sosial merupakan penerapan akuntansi dalam ilmu sosial, ini menyangkut
pengaturan, pengukuran, analisis dan pengungkapan pengaruh kegiatan ekonomi dan
sosial dari kegiatan yang bersifat mikro dan makro pada kegiatan pemerintah
maupun perusahaan. Kegiatan pada tingkat makro bertujuan untuk
mengukur dan mengungkapkan kegiatan ekonomi dan sosial suatu negara, mencakup
akuntansi sosial dan pelaporan akuntansi dalam pembangunan ekonomi. Pada
tingkat mikro bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan
perusahaan terhadap lingkungan yang mencakup, financial, managerial social accounting dan social auditing.
Akuntansi pertanggungjawaban
sosial juga merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan dalam
mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan
tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social reporting disclosure, pemakai
laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung
jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis.
Adapun Tujuan akuntansi
pertanggungjawaban sosial yaitu :
a. Untuk
meningkatkan citra perusahaan dan untuk mempertahankan biasanya secara
implisit, asumsi bahwa perilaku perusahaan secara fundamental adalah baik.
b. Untuk
membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kotrak sosial
diantara organnisasi dan masyarakat. Keberadaan kontrak sosial ini menuntut
dibebaskannya akuntabilitas sosial.
c. Sebagai
perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya memberikan
informasi kepada investor.
2.7
Teori
Yang Mendukung Laporan Pertanggungjawaban Sosial Dan Lingkungan
Teori-teori yang Mendukung
Laporan Pertanggungjawaban Sosial dan Lingkungan yaitu Legitimacy theory dan Stakeholder Theory. Legitimacy theory menjelaskan
bahwa organisasi secara kontinu akan beroperasi sesuai dengan batas-batas dan
nilai yang diterima oleh masyarakat di sekitar perusahaan dalam usaha untuk
mendapatkan legitimasi. Proses untuk mendapatkan legitimasi berkaitan dengan
kontrak sosial antara yang dibuat oleh perusahaan dengan berbagai pihak dalam
masyarakat. Kinerja perusahaan tidak hanya diukur dengan laba yang
dihasilkan oleh perusahaan, tetapi ukuran kinerja lainnya yang berkaitan dengan
berbagai pihak yang berkepentingan. Untuk mendapatkan legitimasi perusahaan
harus memiliki insentif untuk melakukan kegiatan sosial yang diharapkan oleh masyarakat
di sekitar kegiatan operasional perusahaan. Sedangkan Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau
masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan
serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan
masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder
jika memiliki karakteristik seperti mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan
kepentingan terhadap perusahaan.
Dengan menggunakan definisi
diatas, pemerintah bisa saja dikatakan sebagai stakeholder bagi perusahaan karena pemerintah mempunyai kepentingan
atas aktivitas perusahaan dan keberadaan perusahaan sebagai salah satu elemen
sistem sosial dalam sebuah negara oleh karena itu, perusahaan tidak bisa
mengabaikan eksistensi pemerintah dalam melakukan operasinya. Hal tersebut
berlaku sama bagi komunitas lokal, karyawan, pemasok, pelanggan, investor dan
kreditor yang masing-masing elemen stakeholder
tersebut memiliki kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan sehingga masing-masing
elemen tersebut membuat sebuah hubungan fungsional dengan perusahaan untuk bisa
memenuhi kebutuhannya masing-masing. Stakeholder sendiri memiliki
bermacam-macam definisi yang kesemuanya memiliki kesamaan. Hanya saja, fokus
dan penekanan yang berbeda memberikan ruang perdebatan mengenai apa itu stakeholder. Definisi stakeholder dalam beberapa literatur
adalah sebagai berikut,“Segenap pihak yang terkait
dengan isu dan permasalahan yang sedang diangkat, “semua
yang melandasi suatu pihak menjadi stakeholder
adalah ada atau tidaknya kepentingan darinya yang terkait. Stakeholder bermacam-macam,tergantung situasi dan kondisi.
Menurut Gaffikin (2008 :
201), ide pertanggungjawaban sosial perusahaan bisnis sudah ada pada zaman
Yunani Klasik. Perusahaan bisnis diharapkan untuk menerapkan standar yang
tinggi mengenai moralitas dalam perdagangan. Pada zaman pertengahan di Eropa,
Gereja mewajibkan industri dan perusahaan bisnis berperilaku sesuai dengan kode
moral Gereja. Isu ini kemudian menjadi hangat di Amerika Serikat pada tahun
1960. Pada tahun 2000 perhatian serupa diberikan oleh Global Reporting Initiative (GRI),
sebagai bagian dari program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
memberikan pedoman SR yang meliputi tiga elemen, yaitu ekonomi,
lingkungan, dan sosial yang selanjutnya direvisi pada tahun 2002 (Satyo,
2005).
Hal lain yang memicu
timbulnya pemikiran akuntansi pertanggungjawaban sosial ini
adalah perubahan pandangan manajemen dalam pengelolaan perusahaan.
Pandangan manajemen klasik mengungkapkan bahwa ada satu dan hanya ada satu
tanggungjawab perusahaan, yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya
guna menambah nilai suatu perusahaan. Sebaliknya, pandangan manajemen modern
mengungkapkan bahwa kebijakan perusahaan dibuat dengan mempertimbangkan
tanggung jawab sosial mengingat ketergantungan perusahaan pada
lingkungannya yang turut mempunyai andil dalam pencapaian tujuan
perusahaan.Tanggung jawab sosial ini erat kaitannya dengan munculnya konsep coorporate social responsibility
(CSR). Dengan demikian, perusahaan sebagai entitas bisnis hendaknya peduli
terhadap akibat sosial dan berusaha mengatasi kerugian lingkungan sebagai
akibat dari aktivitas usaha perusahaan. Izin sosial dan legitimasi dari
masyarakat menjadi bagian kecil dari usaha untuk meningkatkan kualitas hidup
tersebut. Perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan
legal kepada pemegang saham atau shareholder ,
tapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang jangkauannya melebihi
kewajiban-kewajiban di atas.
2.8
Pengukuran Akuntansi Sosial
Dalam pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan
lingkungan sosialnya terdapat dua dampak yang timbul yaitu dampak positif atau
yang disebut juga dengan manfaat social (Social benefit) dan dampak negatif
yang disebut dengan pengorbanan sosial (Social Cost). Masalah yang
timbul adalah bagaimana mengukur kedua dampak tersebut. Menurut Harahap (1993),
masalah pengukuran akuntansi sosial memang rumit, karena jika dibandingkan
dengan transaksi biasa yang langsung dapat dicatat dan mempengaruhi posisi
keuangan, maka dalam akuntansi sosial terlebih dahulu harus diukur dampak
positif dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Lebih jauh Harahap
(1993) menguraikan beberapa metode yang biasa dipakai dalam pengukuran
Akuntansi sosial yaitu;
a.
Menggunakan
penilaian dengan menghitung Opportunity cost approach
b.
Menggunakan
daftar kuesioner
c.
Menggunakan
hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk barangperorangan dalam
menghitung kerugian masyarakat
d.
Menggunakan
reaksi pasar dalam menentukan harga
Ansry
Zulfikar (1987) dalam Achmad Sonhadji (1989) memberikan beberapa teknik
pengukuran yang dapat dipakai, antara lain ;
a.
Penilaian
pengganti, yaitu jika nilai dari sesuatu tidak dapat langsung ditentukan, maka
dapat mengetimasikannya dengan nilai pengganti.
b.
Teknik
survey, yaitu mencakup cara-cara untuk mendapatkan informasi dari kelompok
masyarakat tentang pengukuran aktifitas sosial perusahaan.
c.
Biaya
perbaikan dan pencegahan, yaitu biaya-biaya perbaikan yang dikeluarkan oleh
perusahaan sebuhubungan dengan lingkungan sosialnya.
d.
Penilaian
dari penilai independen, yaitu memberikan suatu wewnang kepada pihak luar untuk
mengukur aktifitas sosial perusahaan
e.
Putusan
pengadilan, yaitu dengan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum
2.9
Pelaporan,
Pengungkapan (Disclosure) Akuntansi Sosial
Menurut Belkoui (1985) yang dikutip oleh Harahap (1993),
pelaporan dalam akuntansi sosial, berarti memuat informasi yang menyangkut
dampak positif atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaporan
ini menurut Belkoui (1980) dalam Sawardjono (1991) didasari relevan atau
tidaknya informasi tersebut, dan relevansi ini tergantung pada para pemakai
informasi. Menurut Sawardjono (1991), peningkatan kebutuhan informasi ini dapat
dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang telah melaporkan tanggungjawab
sosialnya. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Inggeris, Australia
dan Jepang, pelaporan ini sudah merupakan hal yang lazim. Estes (1976) dalam
Achmad Sondhaji (1989) menggambarkan Praktik pelaporan akuntansi sosial yang
terdiri dari :
a. Praktik yang sederhana, yaitu
laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang tidak disertai dengan data
kuantitaif, baik satuan uang maupun satuan yang lainnya
b. Praktik yang lebih maju, yaitu
laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan disertai dengan data
kuantitatif
c. Praktik yang paling maju, yaitu
laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga menyusun laporannya dalam
bentuk neraca.
Selanjutnya dengan semakin berkembangnya pasar modal,
perusahaan-perusahaan melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk
memberikan informasi kepada pemilik modal, calon investor dan pihak-pihak luar
(stakeholders) lainnya yang juga berkepentingan. Praktik
pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan tahunan perusahaan
telah dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika Serikat, Australia,
Selandia Baru, Singapura dan Malaysia. Keadaan ini turut mendorong
perusahaan–perusahaan untuk mengungkapkan secara sukarela untuk setiap periode
mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat menunjukkan kepada kepada
pihak–pihak yang berkepentingan terhadap laporan tahunan perusahaan yang dapat
menjelaskan kepedulian dan kepekaan sosial suatu entitas bisnis.
Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial ini
sudah dimulai sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini FASB telah banyak
merekomendasikan secara lebih spesifik tentang standar pelaporan externalities.
Davidson (1993) memberikan contoh FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian
dampak sosial khususnya mengenai dampak lingkungan. Davidson (1993) seorang
direktur yang menangani urusan lingkungan di Ernst dan Young consulting
Washington, mengatakan bahwa saat ini SEC (stock exchange commission)
telah menerapkan review bagi perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan dampak
lingkungan dalam laporan tahunan mereka.
Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika
Serikat sampai saat ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure)
dan bukan merupakan suatu kewajiban (Mandatory disclosure), tetapi
kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan mengungkapkan aktifitas sosial
tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah suatu perusahaan dalam
menjalankan fungsi – fungsi sosialnya.
Penelitian–penelitian yang dilakukan diluar negeri
menunjukkan bahwa di Inggris Ince dan Davut (1997), Tsang dan Eric WK (1998) di
Singapura, Hackson dan Milne (1996) di Selandia Baru, Adam et.al (1997) di enam
negara Eropa (Prancis,Jerman,Swiss,Inggris,dan Belanda) dan penelitian Andrew
et.al (1989) di Malaysia dan Singapura membuktikan pengungkapan sosial
perusahaan sudah menjadi hal yang lazim dilaksanakan dengan penekanan bahwa
perusahaan besar lebih banyak mengungkap informasi sosialnya dibandingkan
dengan perusahaan kecil.
Deegan dan Gordon (1991) dalam Heny
dan Murtanto (2001) mengemukakan bahwa sebagian besar pengungkapan yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan masih bersifat kualitatif, dan
kecenderungan perusahaan mengeungkapkan informasi positif daripada informasi
negatif.
2.10
Akuntansi
untuk Manfaat dan Biaya Sosial
Dasar bagi kebanyakan teori akuntansi sosial datang dari
analisis yang dilakukan oleh A.C. Pigou terhadap biaya dan manfaat sosial.
A.C.Pigou adalah seorang ekonom neo-klasik yang memperkenalkan pemikiran
mengenai biaya dan manfaat sosial kedalam ekonomi mikro pada tahun 1920. Titik
pentingnya adalah bahwa optimalitas-Pareto (titik dalam ekonomi kesejahteraan
dimana adalah mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang tanpa
mengurangi kesejahteraan dari orang lain) tidak dapat dicapai selama produk
sosial neto dan produk pribadi neto tidak serata.
Suatu analisis yang serupa dapat dibuat dalam hal biaya.
Bagi Pigou, biaya sosial terdiri atas seluruh biaya untuk menghasilkan suatu
produk, tanpa mempedulikan siapa yang membayarnya. Biaya yang di bayarkan oleh
produsen disebut sebagai biaya pribadi. Selisih antara biaya sosial dan biaya
pribadi (disebut sebagai “biaya sosial yang tidak dikompensasikan”) dan
disebabkan oleh banyak faktor.
Menurut Pigou, optimalitas-Pareto hanya dapat dicapai jika
manfaat sosial marginal sama dengan biaya sosial marginal. Perbedaan antara
Pigou dengan model ekonomi tradisional- dimana pendapatan marginal setara
dengan biaya marginal- berasal dari perbedaan antara manfaat sosial dan pribadi
dengan biaya sosial dan pribadi.
Dengan demikian, ketika akuntan mengukur manfaat pribadi
(pendapatan) dan biaya pribadi (beban) serta mengabaikan yang lainnya, mereka
bersikap konsisten dengan teori ekonomi tradisional. Gerakan kearah akuntansi
sosial, sebagian besar terdiri dari usaha-usaha untuk memasukkan biaya sosial
dan biaya sosial yang tidak terbagi kedalam model akuntansi.
Berdasarkan analisis Pigou dan gagasan mengenai suatu
“kontrak sosial”, K.V.Ramanathan (1976) mengembangkan suatu kerangka kerja
teoritis untuk akuntansi atas biaya dan manfaat sosial. Terdapat dua masalah
utama dengan pendekatan Ramanathan. Pertama, untuk menentukan kontribusi neto
kepada masyarakat, beberapa jenis system nilai harus ditentukan. Bagaimana
entitas tersebut menentukan apa yang merupakan kontribusi atau apa yang
merupakan kerugian bagi masyarakat?. Beberapa kerugian seperti polusi secara
universal dibenci dan memasukkannya dalam suatu laporan akuntansi dan
dibenarkan dengan relative mudah. Masalah utama kedua berkaitan dengan
pengukuran. Adalah teramat sulit untuk menguantifikasi jumlah pos yang akan
dimasukkan dalam laporan kontribusi neto kepada masyarakat.
Salah satu alasan utama dari lambatnya kemajuan akuntansi
sosial adalah kesulitan dalam mengukur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut
terdiri atas tiga langkah, yaitu :
1)
Menentukan
apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial.
2)
Mencoba
untuk menguantifikasi seluruh pos yang relevan.
3)
Menempatkan
nilai moneter pada jumlah akhir.
Cara lain untuk mengidentifikasi asal dari biaya dan manfaat
sosial adalah dengan memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan
individual guna mengidentifikassi bagaimana kerugian dan kontribusi serta
menentukan bagaimana hal itu terjadi. Jika satu bagian dari proses produksidan
distribusi diperiksa – mungkin ditemukan produk sampingan yang negative
diciptakan bersama-sama dengan produk yang berguna.
Ketika aktivitas yang menimbulkan
biaya dan manfaat sosial ditentukan dari kerugian serta kontribusi tertentu
diidentifikasikan, maka dampak pada manusia dapat dihitung. Untuk mengukur
suatu kerugian dibutuhkan informasi mengenai variable-variabel utama, yaitu
waktu dan dampak.
1)
Waktu
Beberapa peristiwa yang menghasilkan biaya sosial
membutuhkan waktu beberapa tahun untuk menimbulkan suatu akibat. Dalam hal
pengukuran, adalah penting untuk menentukan lamanya waktu tersebut. dampak
jangka panjang sebaiknya diberikan bobot yang berbeda dengan dampak jangka
pendek.
2)
Dampak
Orang-orang dapat dipengaruhi secara ekonomi, fisik,
psikologis, dan sosial oleh berbagai kerugian. Untuk mengukur biaya sosial
tersebut adalah perlu untuk mengidentifikasikan kerugian-kerugian tersebut dan
menguantifikasikannya.
Biaya-biaya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kerugian
ekonomi, fisik, psikologis, atau sosial.
1)
Kerugian ekonomi
Biaya-biaya ini meliputi tagihan pengobatan dan rumah sakit
yang tidak dikompensasi, hilangnya produktivitas, dan hilangnya pendapatan yang
diderita oleh pekerja. Jelaslah, perhitungan ganda atas hilangnya pendapatan
dan produktivitas harus duhindari.
2)
Kerugian fisik
Menghitung nilai dari kehidupan atau kesehatan manusia
adalah hal yang sulit untuk dilakukan, tetapi seringkali dicoba dalam analisis
biaya-manfaat yang tradisional.
3)
Kerugian psikologis
Kerugian-kerugian ini juga sulit untuk dikuantifikasi dan
harus didiskontokan pada tingkat bunga yang sesuai.
4)
Kerugian sosial
Dalam keluarga pekerja, perubahan peran dapat terjadi
sebagai akibat dari penyakit tersebut. keluarga tersebut dapat menjadi begitu
trauma sehingga terjadi perpecahan. Nilai sekarang dari seluruh dampak ini
bagaimanapun juga harus dihitung.
2.11
Pelaporan
Kinerja Sosial
Kerangka kerja akuntansi sosial belum secara penuh
dikembangkan dan terdapat masalah pengukuran yang serius mengenai biaya dan
manfaat. Meskipun demikian, sejumlah penulis telah menyarankan agar perusahaan
melaporkan kinerja akuntansi sosialnya baik secara internal maupun secara
eksternal. Pendekatan-pendekatan tersebut meliputi :
1.
Audit
Sosial
Audit
sosial mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari
program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang reguler. Audit
sosial adalah serupa dengan audit keuangan dalam hal bahwa audit sosial mencoba
untuk secara independen menganalisis suatu perusahaan dan menilai kinerja.
Setelah audit sosial diselesaikan, perusahaan harus memutuskan apakah akan
menginformasikannya kepublik.
2.
Laporan-laporan
Sosial
David Linowes telah mengembangkan laporan operasi
sosio-ekonomi untuk digunakan sebagai dasar untuk melaporkan informasi
akuntansi sosial. Linowes membagi laporannya kedalam tiga kategori :
1) Hubungan dengan manusia
2) Hubungan dengan lingkungan
3) Hubungan dengan produk
3.
Pengungkapan
dalam Laporan Tahunan
Ditemukan
bahwa secara umum, jumlah perusahaan yng mengungkapkan informasi sosial dan
jumlah pengungkapan meningkat dengan stabil. Sekitar 90 persen dari perusahaan
yang termasuk dalam laporan tahunan bersifat sukarela dan selektif, dapat
diargumentasikan bahwa informasi tersebut memiliki nilai yang dipertanyakan dan
seseorang tidak dapat menilai kinerja sosial dari perusahaan tersebut
berdasarkan laporan tahunannya.
4.
Perkembangan
luar negeri
Bentuk pelaporan model Eropa yang telah digunakan oleh
sejumlah perusahaan adalah bentuk yang dikembangkan serta digunakan oleh
DeutscheShell (perusahaan minyak Shell di Jerman). Serupa dengan laporan dari
perusahaan-perusahaan di Prancis, laporan Deutsche Shell menekankan pada
hubungan perusahaan dengan karyawannya. Akan tetapi, laporan tersebut juga
memberikan informasi mengenai sejumlah bidang lainnya yang berurusan dengan
tanggung jawab sosial perusahaan.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Aspek
Perilaku Dalam Akuntansi Sosial Terhadap Perusahaan Baik Karyawan, Masyarakat Dan Lingkungan
Salah satu cara yang ditempuh perusahaan
dalam mengkomunikasikan infomasi pada masyarakat tentang aktivitas
tanggungjawab sosial perusahaan (TSP) atau corporate
social responsibility (CSR) adalah pengungkapan TSP pada laporan
tahunannya. Dengan begitu masyarakat diharapkan dapat mengetahui dan menilai
TSP.
Di beberapa negara maju, pengungkapan TSP
menjadi isu sensitif, karena dapat mempengaruhi legitimasi perusahaan, tindakan
politik yang tidak menguntungkan perusahaan dan harga saham perusahaan. Terkait
hal tersebut, ketidakjujuran dapat saja terjadi dalam pengungkapan TSP.
Keragamanan pengungkapan TSP inipun telah memunculkan berbagai pertanyaan,
misalnya apakah pengungkapan TSP merupakan aktivitas reaktif atau proaktif dari
perusahaan? Dari sudut pandang reaktif pengungkapan TSP diekspetasi terjadi
ketika perusahaan mendapat ancaman legitimasi. Sebaliknya, dari sudut pandang
proaktif pengungkapan TSP diekspektasi terjadi ketika manajer berupaya
meminimumkan laba dilaporkan untuk mengurangi tindakan politik yang tidak
menguntungkan perusahaan. Pengungkapan TSP di Indonesia dipengaruhi oleh niat manajer. Niat
manajer ini dipengaruhi tiga faktor, yaitu sikap manajer terhadap pengungkapan
TSP, norma subyektif manajer atas pengungkapan TSP, dan kontrol perilaku
persepsian manajer atas pengungkapan TSP. Kontrol perilaku persepsian atas
pengungkapan TSP tidak berpengaruh terhadap pengungkapan TSP. Kontrol perilaku
persepsian atas pengungkapan TSP hanya dapat mempengaruhi pengungkapan TSP
setelah melalui niat untuk pengungkapan TSP.
Pada
sektor industri Aneka Industri, Industri Barang Konsumsi, Industri dasar dan
Kimia, Pertambangan dan Pertanian, pengungkapan tidak berhubungan dengan
kinerja keuangan perusahaan dalam jangka panjang waktu satu tahun setelah
pengungkapan TSP. Artinya pengungkapan TSP pada kelima sektor industri tersebut
tidak mengandung nilai bagi pasar dan bagi perusahaan dalam waktu satu tahun
setelah pengungkapan TSP. Penyediaan informasi oleh perusahaan kepada publik
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor observable yang berkaitan dengan
karakteristik perusahaan, tetapi juga faktor unobservable yang melekat pada
diri manajer.
Tuntutan terhadap perusahaan untuk
memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata
kelola perusahaan yang semakin bagus (good
corporate governance) semakin memaksa perusahaan untuk memberikan informasi
mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh
mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat
untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi
makanan dapat terpenuhi. Owen (2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika
telah menyebabkan perusahaan-perusahaan lebih memberikan perhatian yang besar
terhadap pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen risiko dan keunggulan
kompetitif nampak menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan
pengungkapan informasi sosial. Dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh
Finch (2005) menunjukkan bahwa motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan
sosial lebih banyak dipengaruhi oleh usaha untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder mengenai kinerja manajemen
dalam mencapai manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang.
Standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan
perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial terutama informasi mengenai
tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, akibatnya yang terjadi di dalam
praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Perusahaan akan
mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka memutuskan
untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila manfaat yang akan diperoleh dengan
pengungkapan informasi tersebut lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan
untuk mengungkapkannya maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan
informasi tersebut. Belkaoui (1989) menemukan hasil (1) pengungkapan
sosial mempunyai hubungan yang positif dengan kinerja sosial perusahaan yang
berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya
dalam laporan sosial, (2) ada hubungan positif antara pengungkapan sosial
dengan visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan
lebih banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil, (3)
ada hubungan negatif antara pengungkapan sosial dengan tingkat financial
leverage, hal ini berarti semakin tinggi rasio utang/modal semakin rendah
pengungkapan sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin
besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga
perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang
dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang
lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya-
biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).
Eipstein & Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual tertarik terhadap informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi tersebut berupa keamanan dan kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain itu mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan dengan karyawan dan masyarakat. Hackston & Milne (1996) menyajikan bukti empiris mengenai praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di New Zealand serta menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik perusahaan dengan pengungkapan sosial dan lingkungan. Ukuran perusahaan dan industri berhubungan dengan jumlah pengungkapan sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi antara ukuran perusahaan dan industri menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih kuat antara perusahaan dalam industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang low-profile.
Eipstein & Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual tertarik terhadap informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi tersebut berupa keamanan dan kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain itu mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan dengan karyawan dan masyarakat. Hackston & Milne (1996) menyajikan bukti empiris mengenai praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di New Zealand serta menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik perusahaan dengan pengungkapan sosial dan lingkungan. Ukuran perusahaan dan industri berhubungan dengan jumlah pengungkapan sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi antara ukuran perusahaan dan industri menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih kuat antara perusahaan dalam industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang low-profile.
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat
memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori
akuntansi tradisional, perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat
memberikan sumbangan yang maksimum kepada masyarakat sesuai konsep trickle down
kapitalisme. Namun seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin
menyadari adanya dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam
menjalankan operasinya untuk mencapai laba yang maksimal, yang semakin besar
dan semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, masyarakat pun menuntut
agar perusahaan senantiasa memperhatikan dampak-dampak sosial yang
ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya. Aksi protes terhadap perusahaan
sering dilakukan oleh para karyawan dan buruh dalam rangka menuntut kebijakan
upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lainnya yang dirasakan kurang
mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh pihak
masyarakat, baik masyarakat sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan
sekitar pabrik. Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan,
keselamatan, dan kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan protes yang
dilakukan masyarakat di sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran
lingkungan yang disebabkan limbah pabrik.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan pelaporan
akuntansi sosial, dimana diinformasikan seberapa besar manfaat sosial netto
yang diberikan perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto tersebut,
diperoleh dari selisih antara kontribusi suatu perusahaan kepada masyarakat
(manfaat sosial) dengan kerugian yang ditimbulkan (biaya sosial). Namun dalam
menentukan manfaat sosial netto tersebut tidaklah semudah menyajikan laporan
keuangan biasa. Sebab Menurut Grayson
dan Hodges ( 2004), bahwa perusahaan tidak beroperasi di dalam ruang kosong,
melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, situasi politik, pembangunan sosial dan ekonomi,
juga risiko-risiko yang mungkin timbul. Jonker dan Witte (2004) menyebutkan
bahwa Organisasi sekarang ini tidak hanya bertanggung jawab bagaimana
menghasilkan kualitas produk dan jasa yang baik, tetapi juga harus dapat memenuhi
kebutuhan para external stakeholders sebagai suatu cara untuk
mencegah timbulnya dampak negatif sosial.
Selain itu juga perlu dilakukan pengungkapan kinerja sosial
pada laporan tahunan perusahaan seringkali dilakukan secara sukarela oleh
perusahaan. Menurut Henderson dan Peirson, adapun alasan-alasan perusahaan
mengungkapan kinerja sosial secara sukalera (Henny
dan Murtanto, 2001: 27) antara lain:
1)
Internal decision making: manajemen membutuhkan informasi
untuk menentukan efektivitas dari informasi sosial tertentu dalam mencapai
tujuan sosial perusahaan. Data harus tersedia agar biaya dari pengungkapan
tersebut dapat diperbandingkan dengan manfaatnya bagi perusahaan. Walaupun hal
ini sulit diidentifikasi dan diukur namun analisis secara sederhana lebih baik
daripada tidak sama sekali.
2)
Product differentiation: manajer dari perusahaan yang
bertanggung jawab secara sosial memiliki insentif untuk membedakan diri dari
pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat.
3)
Enlightened self interest: perusahaan melakukan pengungkapan
untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder yang terdiri dari
stockholder, kreditor, karyawan, pemasok, pelanggan, pemerintah dan masyarakat
karena dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan.
Menurut Mathews dan Perera
(Rusmanto, 2004: 83) terdapat beberapa alasan perusahaan mencantumkan kegiatan
sosial mereka dalam laporan keuangan, antara lain ialah Mencoba mempengaruhi pasar modal,
Sebagai wujud dari kontrak sosial antara perusahaan dan
masyarakat, dan Pelaksanaan legistimasi organisasi.
Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik secara internal maupun eksternal, dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan, yaitu:
Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik secara internal maupun eksternal, dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan, yaitu:
1) Audit Sosial
Audit
Sosial yaitu mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan
dari program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang
reguler. Mulanya, manajer perusahaan diminta membuat daftar aktivitas dengan
konsekuensi sosial. Setelah daftar tersebut dihasilkan, auditor sosial kemudian
menilai dan mengukur dampak-dampak dari kegiatan sosial perusahaan. Audit
sosial dilaksanakan secara rutin oleh kelompok konsultan internal maupun
eksternal, sebagai bagian dari pemeriksaan internal biasa, sehingga manajer
mengetahui konsekuensi sosial dari tindakan mereka.
2) Laporan-Laporan Sosial.
Laporan eksternal terpisah yang menggambarkan
hubungan perusahaan dengan komunitasnya, dikembangkan salah satunya oleh David
Linowes. Ia membagi laporannya dalam tiga kategori: hubungan dengan manusia,
hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan produk. Pada setiap kategori,
ia membuat daftar mengenai konstribusi sukarela perusahaan dan kemudian
mengurangkannya dengan kerugian yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan itu.
Linowes memoneterisasi segala sesuatunya dalam laporan tersebut, sampai pada
saldo akhir, yang disebutnya sebagai tindakan sosio-ekonomi netto untuk tahun
tersebut. Dalam laporan Linowes, seluruh kontribusi dan kerugian harus dihitung
secara moneter. Selain Linowes, Ralph Estes juga mengembangkan suatu model
pelaporan mengenai manfaat dan biaya sosial. Ia menghitung manfaat sosial
sebagai seluruh kontribusi kepada masyarakat yang berasal dari operasi
perusahaan (misalnya, lapangan kerja yang disediakan, sumbangan, pajak,
perbaikan lingkungan). Sedangkan biaya sosial, meliputi seluruh biaya operasi
perusahaan (bahan baku yang dibeli, utang kerusakan lingkungan, luka-luka dan
penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan). Manfaat sosial dikurangkan dengan biaya
social untuk memperoleh manfaat atau biaya netto.
3) Pengungkapan dalam laporan tahunan.
Beberapa perusahaan menerbitkan
laporan tahunan kepada pemegang saham disertai beberapa informasi sosial yang
dilakukan. Namun, melalui informasi yang dicantumkan dalam laporan tahunan
tersebut, belum dapat dinilai kinerja sosial perusahaan secara komprehensif,
karena kebanyakan informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan bersifat
sukarela dan selektif. Dalam artian, bisa jadi perusahaan hanya menyoroti
kontribusi positifnya dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari
aktivitas usahanya.
BAB
IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Bahwa
aspek perilaku dalam akuntansi sosial terhadap perusahaan baik karyawan, masyarakat
dan
lingkungan sangat perlu diterapkan karena perusahaan tidak hanya berorientasi
laba saja melainkan memperhatikan
dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya. Dimana
hal yang perlu dilakukan adalah
pelaporan akuntansi sosial dan pengungkapan kinerja sosial pada laporan tahunan
perusahaan. Sehingga perusahaan tidak hanya menyoroti kontribusi positifnya
tetapi memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya.
4.2.
Saran
Sebaiknya didalam pengelolaan
perusahaan tidak hanya memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola
perusahaan yang semakin bagus (good
corporate governance) tetapi perusahaan haruslah memberikan informasi
mengenai aktivitas sosialnya. Sebab Masyarakat membutuhkan informasi mengenai
sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak
masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan
mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi.
makasih buat bahan pembelajarannya kak :) sangat membantu sekali
BalasHapus